Data Kematian Dihilangkan, Arah Penanganan Pandemi Dinilai Mundur
Kamis, 12 Agustus 2021 -
MerahPutih.com - Pemerintah menghilangkan angka kematian dari indikator data penanganan COVID-19. Dalihnya, laporan angka kematian karena ada kesalahan input data dalam beberapa pekan terakhir.
Anggota DPR Bukhori Yusuf melontarkan kritik kepada Koordinator PPKM Darurat, Luhut Binsar Panjaitan, lantaran keputusannya menghapus indikator kematian dari penilaian PPKM. Leputusan tersebut sebagai langkah fatal karena berisiko mempengaruhi kesadaran publik atas kondisi darurat pandemi yang masih berlangsung.
Baca Juga:
Pemerintah Hapus Indikator Kasus Kematian COVID-19, PKS: Sangat Berbahaya
Anggota Komisi VIII DPR ini mengungkapkan, data kematian adalah instrumen efektif untuk menyampaikan pesan psikologis kepada masyarakat supaya konsisten menegakan protokol kesehatan sebagaimana seruan pemerintah.
Namun sebaliknya, menyembunyikan angka kematian dari sorotan publik akan membawa arah penanganan pandemi mundur jauh ke belakang. Data angka kematian berperan penting sebagai ‘shock therapy’ bagi publik agar mereka tidak abai.
"Sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko paparan virus yang sewaktu-waktu bisa membawa mereka pada kematian,” tuturnya kepada wartawan, Kamis (12/8).
Bukhori melanjutkan, kewaspadaan yang sudah terbangun ini akan runtuh tatkala pemerintah justru menyembunyikan fakta kematian dengan dalih pemutakhiran data.
Kendurnya kesadaran masyarakat akan membuat usaha kita selama ini menjadi sia-sia. Dengan kata lain, kontraproduktif pada akhirnya. Di sisi lain, politisi PKS ini mengatakan, keputusan menghapus angka kematian menunjukan watak penanganan pandemi yang menyepelekan nyawa manusia.
Padahal, tinggi rendahnya angka kematian juga merupakan cermin untuk melihat kualitas pemerintah dalam mengatasi wabah sehingga patut menjadi bahan evaluasi.
"Pemerintah tidak sepatutnya memandang masih tingginya angka kasus harian nasional sebagai sebuah aib," tuturnya.
Senada, Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengkritisi alasan dibalik penghilangan angka kematian karena kesalahan input data. Jika ke depan ada kesalahan lain dalam input data, semua indikator penanganan COVID-19 berpeluang dihilangkan.
"Kalau memakai logika pemerintah karena salah input data, khawatirnya semua indikator punya peluang dihilangkan," kata Mufida.
Ia menambahkan, bila data kematian dihilangkan bisa mengurangi kewaspadaan publik akan ancaman dan bahaya COVID. Saat ini kesadaran publik akan bahaya Pandemi tengah meningkat ditunjukkan dengan antusiasme vaksinasi di berbagai daerah.
"Momentum ini harus dijaga dengan tetap memberikan informasi yang utuh dan lengkap agar waspada."
Mufida mengingatkan penanganan Pandemi COVID-19 tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Pemerintah harus menggandeng semua pihak termasuk menerima masukan dari para ahli guna merumuskan kebijakan.
“Jika data angka kematian dihilangkan, ada bacaan terhadap fakta lapangan yang bisa salah sehingga tidak berjalan peran para ahli dan masyarakat dalam memberikan masukan,” ujar Mufida.

Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi menjelaskan perihal tidak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," tuturnya.
Pemerintah, lanjut Jodi, menemukan bahwa banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk, atau dicicil pelaporannya, sehingga dilaporkan terlambat.
"Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," katanya.(Knu)
Baca Juga:
Kasus Kematian COVID-19 Meroket, DIY Dorong Warga Isoman di Selter COVID-19