Alat Deteksi COVID-19 Melalui Hembusan Nafas Terganjal Uji Diagnostik Kemenkes
Sabtu, 03 Oktober 2020 -
MerahPutih.com - GeNose, alat deteksi COVID-19 melalui embusan napas inovasi Universitas Gadjah Mada (UGM), terganjal di uji diagnostik Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan. Padahal, ini menjadi uji terakhir sebelum alat tes sistem tiup ini dapat diproduksi.
Anggota tim peneliti GeNose, Kuwat Triyono, berharap uji alat tes tersebut dipercepat walau tes aspek medis harus ketat. Fase uji GeNose sebagai alat kesehatan seharusnya tak selama uji obat karena tidak perlu menguji dampak pemakaian terhadap pasien.
"Ini prosesnya harus cepat karena ini darurat, bukan normal," ucap Kuwat dalam diskusi daring MNC Trijaya FM, Sabtu (3/10).
Baca Juga
Kuwat ingin GeNose bisa mendapat status alat kesehatan status B. Setelah lolos pengujian paramater di Kementerian Kesehatan, GeNose sudah siap untuk uji diagnostik.
"Rumah sakit sudah siap, peralatan sudah siap," kata dia
Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK-Unand) Andani Eka Putra menyebutkan uji diagnostik harus dilakukan untuk mengetahui sensitivitas alat kesehatan. Untuk COVID-19, pengecekan tersebut berpatokan tes polymerase chain reaction (PCR) yang menjadi gold standart Indonesia.
"Kalau sensitivitasnya 85 persen, saya rasa tak masalah menggunakan (GeNose)," kata Andani pada kesempatan yang sama.
Ia lantas mengatakan kunci kesembuhan pasien terletak pada kondisi psikologis yang baik. Artinya pasien tidak boleh depresi atau stres.
"Sebenarnya obat yang bagus untuk COVID-19 itu adalah bagaimana menghilangksn stres pada saat pasien dirawat. Karena saya di rumah sakit menangani pasien saya lihat itu yang paling bagus," ujar Andani

Menurut dia, deteksi virus secepat mungkin amat perlu dilakukan sehingga orang yang terinfeksi COVID-19 tidak 'keluyuran' ke mana-mana dan bisa istirahat dan makan obat. Dengan istirahat cukup dan pikiran yang tenang itu akan mempercepat kesembuhan.
"Saya sepakat sekali bagaimana memperbaiki motivasinya, karena pada saat masuk (rumah sakit akibat covid) itu akan muncul stigma jelek, dipojokkan, mereka seolah akan mati, aib, ada pasien yang cabut infusan, membenturkan kepalanya, berteriak-teriak, ketawa-tawa, di ruangan begitu hari pertama pasti menangis, pendekatan ini sangat penting sekali," tutur Andani.
Andani menuturkan, yang dibutuhkan pasien COVID-19 adalah komunikasi dan pemberian motivasi secara baik dalam rangka menjaga psikologis mereka. Dengan begitu kesembuhan akan dapat diraih.
Apalagi saat ini pemberian obat terkait masih menjadi perdebatan. Belum ada satu obat yang pasti dan terbukti menyembuhkan manusia dari virus ini.
Ia juga menganjurkan kepada masyarakat untuk tetap menjaga rasionalitas terhadap wabah covid ini. Masyarakat tidak boleh terlalu panik, tetapi juga jangan terlalu abai.
Andani juga menganjurkan seseorang yang menderita COVID-19 namun kondisinya stabil, maka tidak perlu di rawat di rumah sakit. Penderita hanya perlu mengisolasi diri di rumah dan tetap menjaga kebugaran serta mengelola stres dengan baik.
"Saya anjurkan pasien tak usah rawat di rumah sakit kalau kondisinya baik. Kenapa pasien jadi berat? Tentu karena dia stres, dia punya komorbid, pada waktu stres tekanan darah tak terkontrol, jantung muncul, kalau pasien tenang itu akan bagus sekali," tuturnya.
Baca Juga
Dosen UGM Bikin Pendeteksi COVID-19 Radiografi Digital, Akurasi hingga 95 Persen
"Saya katakan bukan berarti saya sepakat isolasi mandiri, kalau pasein kondisinya stabil, dirumhanya memenuhi syarat, maka saya rekomendasikan di rumah saja. Harus penuhi syarat. Artinya ada orang yang paham mengenai kesehatan, ada pendampingan dari tenaga kesehatan, makanya untuk orang yang positif covid dalam satu keluarga, dirumah aja semuanya, anggap seperti biasa, cuma mereka gak usah keluar rumah," jelas Andani. (Knu)