UU Perlindungan Konsumen Baru Harus Mampu Jerat Penjual Barang Ilegal di Platform Digital
Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim (DPR RI)
Merahputih.com - Penemuan jutaan barang impor ilegal dari Tiongkok mendapat sorotan Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim. Halim menekankan pentingnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang baru untuk mengatur pemasaran produk di media digital. UUPK baru ini juga harus melindungi konsumen dari produk ilegal yang beredar di platform digital dan memastikan adanya sanksi bagi para pelanggar.
"UU yang baru ini harus ada aturan lebih komprehensif, dengan mengajak platform atau e-commerce duduk bersama," ujar Rivqy dalam keterangannya, Selasa (27/5).
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyita 1.680.047 barang impor asal China senilai Rp18,85 miliar di Kabupaten Tangerang. Barang-barang ini terdiri dari perkakas tangan, peralatan listrik, elektronik, aksesori pakaian, serta produk besi dan baja yang diimpor oleh PT Asiaalum Trading Indonesia.
Baca juga:
Jualan Pipa Rokok Berbahan Gading Ilegal di TikTok, Sindikat Perdangan Satwa Diringkus
Perusahaan tersebut melanggar berbagai ketentuan, termasuk Standar Nasional Indonesia (SNI), kewajiban label berbahasa Indonesia, Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup (K3L), Tanda Daftar Manual dan Kartu Garansi (MKG), serta tidak memiliki dokumen asal impor.
Penemuan barang ilegal ini berawal dari pengamatan Kemendag di media sosial yang menampilkan promosi dan distribusi produk impor secara daring, khususnya di TikTok.
Rivqy menegaskan bahwa pelaku usaha telah melanggar UUPK karena memasarkan produk secara tidak jujur. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan platform yang meloloskan pemasaran produk ilegal.
Rivqy menjelaskan bahwa UUPK yang lama belum mengatur secara rinci pemasaran produk ilegal melalui media digital. Selama ini, pelanggaran di media digital hanya dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 9 yang mewajibkan pelaku usaha menyediakan informasi lengkap dan benar.
Baca juga:
Selain itu, Rivqy juga menyoroti ketidakseimbangan relasi antara pelaku usaha dan konsumen, terutama dalam penanganan keluhan di media digital. Konsumen sering kali kalah dalam tuntutan pencemaran nama baik, sementara jarang mendapatkan ganti rugi atas produk ilegal atau barang dan jasa yang melanggar aturan.
“Jadi, Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang baru nantinya mesti mengatur posisi yang setara antara pelaku usaha dan konsumen. Salah satu diantaranya, adalah pengaturan mekanisme untuk konsumen mendapatkan ganti rugi mesti dibuat relatif lebih mudah,” tutupnya.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
6 RUU Dicabut, ini Daftar 64 RUU yang Masuk Prolegnas Prioritas 2026
DPR Minta Riset Kebencanaan Harus 'Membumi', Kesiapsiagaan Bencana Melalui Pendidikan dan Riset
Jelang Nataru, Pemerintah Siap Jaga Pasokan dan Stabilitas Harga Bahan Pokok
DPR Setujui Prolegnas Prioritas 2026: 6 RUU Jadi Fokus Legislasi
Indonesia Perdana Kirim Produk Tetes Tebu ke Australia, Buka Diversifikasi Ekspor
Kemendag Intensifkan Pengawasan Distribusi MINYAKITA Jelang Nataru
DPR Sentil Kemenhut Soal Loyonya Penegakan Hukum Kehutanan, Taubat Ekologi Bisa Jadi Solusi
Pemerintah Didesak Bentuk BRR Ad Hoc untuk Pemulihan Cepat Pasca Bencana Sumatera
DPR Serukan 'Taubat Ekologi' ke Menhut Raja Juli Sebagai Refleksi Kerusakan Lingkungan