Utang Berbagai Negara Sudah Lampaui Batas
Pembangunan Tol. (Foto: PUPR)
MerahPutih.com - Pandemi COVID-19 telah meningkatkan ketimpangan pendapatan global, sebagian membalikkan kenaikan yang dicapai selama dua dekade sebelumnya. Pada 2023, output tahunan diperkirakan akan tetap di bawah tren pra-pandemi di semua wilayah emerging market dan ekonomi berkembang (EMDE).
Bank Dunia menegaskan, negara emerging market dan ekonomi berkembang, terutama di negara-negara kecil dan negara-negara yang rapuh dan dilanda konflik, output dan investasi akan tetap berada di bawah tren pra pandemi.
Baca Juga:
DPR Dorong BUMN Jadi Sandaran Pemulihan Ekonomi Nasional
"Karena tingkat vaksinasi yang lebih rendah, kebijakan fiskal dan moneter yang lebih ketat, dan bekas luka yang lebih persisten dari pandemi," tulis laporan Bank Dunia.
Organisasi pembangunan yang berbasis di Washington menyerukan peluncuran global yang cepat dari vaksinasi dan melipatgandakan reformasi peningkatan produktivitas, yang dapat membantu menurunkan ketidaksetaraan antar negara.
Bukti awal menunjukkan, pandemi juga menyebabkan ketidaksetaraan pendapatan di dalam negeri agak meningkat di EMDE karena kehilangan pekerjaan dan pendapatan yang parah di antara kelompok populasi berpenghasilan rendah.
Selain meningkatnya ketimpangan pendapatan di seluruh dan di dalam negara, laporan tersebut menguraikan dua tantangan menakutkan lainnya bagi banyak negara berkembang, yakni ketidakseimbangan makroekonomi dan fase ketidakpastian yang luar biasa.
Tercatat, pengeluaran di negara-negara berkembang melonjak untuk mendukung kegiatan ekonomi selama krisis, tetapi banyak negara sekarang menghadapi rekor tingkat utang luar negeri dan domestik.
"Menambahkan risiko terkait utang ini adalah potensi suku bunga yang lebih tinggi: sulit untuk memprediksi seberapa cepat suku bunga akan naik karena negara-negara maju memperlambat ekspansi mereka dalam kebijakan moneter," kata Presiden Grup Bank Dunia David Malpass.
Ia memaparkan, dengan kebijakan fiskal dan moneter di wilayah yang belum dipetakan, implikasi nilai tukar, inflasi, keberlanjutan utang, dan pertumbuhan ekonomi tidak mungkin menguntungkan bagi negara berkembang.
Laporan tersebut mencatat bahwa prospek jangka pendek untuk inflasi global terutama lebih tinggi dari yang dibayangkan sebelumnya, karena kebangkitan kembali pandemi, harga makanan dan energi yang lebih tinggi, dan gangguan pasokan yang lebih berbahaya.
"Meningkatnya ketidaksetaraan dan tantangan keamanan sangat berbahaya bagi negara-negara berkembang," tulis laporan Bank Dunia.
Bank Dunia memproyeksikan ekonomi global kemunkinan hanya tumbuh menjadi 4,1 persen tahun ini di tengah gelombang baru pandemi, meningkatnya inflasi dan berlanjutnya kemacetan rantai pasokan setelah sebelumnya mencapai 5,5 persen.
Prospek global dibayangi oleh berbagai risiko penurunan, termasuk wabah COVID-19 yang diperbarui karena varian virus baru, kemungkinan ekspektasi inflasi yang tidak terkendali dan tekanan keuangan dalam konteks tingkat utang yang mencapai rekor tertinggi. (Asp)
Baca Juga:
Berbagai Risiko Baru Bayangi Pemulihan Ekonomi Indonesia
Bagikan
Asropih
Berita Terkait
Menkeu Purbaya Ultimatum Kementerian Lembaga, Dana Tidak Terserap Bakal Digunakan Bayar Utang
Rencana Utang Kereta Cepat 'Numpang' APBN Bikin BUMN Sehat Jadi 'Sakit', DPR Minta Jangan Korbankan Duit Rakyat Buat Whoosh
Menkeu Purbaya Yakin Danantara Bisa Bayar Utang Kereta Cepat Whoosh, Pakai Dividen BUMN
Proyek Kereta Cepat Whoosh Program Jokowi Jadi Beban, Kontrak Awal Proyek Ini Harus Disisir Ulang
PKS Dukung Menkeu Tidak Gunakan APBN Bayar Utang Kereta Cepat Whoosh
Utang KCIC Bikin BUMN Pusing Tujuh Keliling, DPR Ingatkan Jangan Sampai Negara Ikutan Rugi
Utang Luar Negeri Pemerintah Meningkat 6,7 Persen, Begini Peruntukannya
DPR Desak OJK Hapus Pasal 'Debt Collector' di POJK 22/2023, Utang Wajib Perdata!
Indonesia Usulkan Reformasi Total IMF dan Bank Dunia, Hapus Sistem Voting Berbasis Saham
Defisit Anggaran Bakal Capai Rp 698 Triliun di 2026, Menkeu Pede Tarik Utang Berkurang