Tommy Soeharto Ingin Presiden Kembali Dipilih MPR, Begini Tanggapan Para Politisi


Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (ketiga kiri) memukul gong saat pembukaan Rapat Pimpinan Nasional III Partai Berkarya di Solo, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO)
MerahPutih.Com - Ketua Umum Partai Berkarya yang juga putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau biasa dikenal dengan nama Tommy Soeharto mengusulkan agar pemilihan presiden diubah seperti sebelum reformasi, yakni presiden dipilih MPR.
"Untuk jadi presiden, gubernur, wali kota, bupati, itu membutuhkan dana yang enggak kecil. Jadi presiden harusnya jadi mandataris MPR. Harus MPR lagi. Buktinya Inggris masih melakukan hal serupa, kenapa kita harus metodenya Amerika?" jelas Tommy Soeharto, seperti dikutip dari Al-Jazeera, Selasa (22/5).
Tommy mengatakan, sistem pemilihan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, membutuhkan dana yang amat besar. Jika sistem itu dikembalikan seperti era Orde Baru, kata Tommy, biaya politik yang dibutuhkan bisa ditekan.

"Kita kembali kepada UUD 45 yang asli. Itu jati diri bangsa negara. Yang lebih relevan dan tidak jadi high cost politic. Dan itu tidak ada salahnya," lanjut Tommy.
Usulan anak mantan penguasa Orde Baru itu sontak saja mendapat tanggapan pro dan kontra dari para kader partai politik di Senayan. Tak pelak lagi, ide tersebut menjadi wacana yang hangat di antara anggota partai politik yang juga wakil rakyat.
Anggota Komisi II DPR Fraksi Hanura Rufinus Hutahuruk menyambut baik usulan Ketua Umum Partai Berkarya Tommy Soeharto yang ingin presiden kembali dipilih oleh MPR. Ia juga sepakat, sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini membuat biaya politik semakin besar.
“Kelihatannya memang ini sudah berbagai varian dan variabel yang mengacu kepada ada yang menyebut joki, ada yang menyebut money politic,” ucap Rufinus di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5).
Partai Hanura sepakat dengan gagasan Tommy Soeharto. Namun tidak demikian dengan Partai Gerindra. Meski sama-sama berlatar belakang "trah Cendana", Gerindra berdalih harus amandemen dulu UUD 1945 baru pemilihan presiden dikembalikan ke MPR.

Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menilai, Tommy menginginkan agar sistem konstitusi Indonesia kembali kepada UUD 1945. Namun, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR ini, Indonesia saat ini sudah memasuki era demokrasi yakni pemilihan secara langsung.
”Dan sudah diputuskan di UU Pemilu bahwa pilpres itu harus dilakukan secara langsung suara terbanyak. Jadi sudah tidak bisa kembali ke MPR kecuali kita mengubah, mengamandemen UUD 45. Kecuali kita juga mengubah UU Pemilu,” kata Riza kepada kumparan di Gedung DPR Jakarta Pusat.
Tanggapan sengit justru berasal dari PDI Perjuangan. Menurut Komarudin Watubun, usulan Tommy Soeharto dipandang sebagai kemunduran demokrasi. Anggota Komisi II itu menilai usulan Tommy butuh waktu untuk mengubah UUD 1945.
“Itu sebagai ide boleh, tapi itu pemikiran mundur. Karena apa, harus membutuhkan amandemen UUD kalau mau dilakukan pemilihan melalui MPR lagi,” katanya di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5).

Komarudin menjelaskan, para pendiri bangsa menggunakan pemilihan Presiden melalui MPR berdasarkan Sila ke-4. Namun, pemerintahan yang dipilih melalui MPR justru menimbulkan kesewenang-wenangan dan sikap otoriter.
“Dalam praktik bernegara selama Orde Lama ke Orde Baru, wah ini kemudian ditafsirkan sudah pemimpin suka-suka saja, tidak dibatasi,” ujar Ketua DPP PDIP itu.
Sementara politikus Golkar Firman Soebagyo menilai apapun perubahan harus berdasarkan Undang-Undang. Ajang pemilihan umum baik itu pilkada, pileg dan pilpres dilaksanakan atas dasar ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu. Oleh karena itu, kata dia, ketika UU menyatakan pemilihan langsung, maka amanat dan perintah UU tersebut harus dilaksanakan.

“Karena UU-nya sudah memerintahkan pemilihan langsung, maka kita laksanakan UU. Kalau mau mengubah kita perlu bikin forum kajian. Karena tujuan daripada pemilihan langsung ada memberikan mandat kepada rakyat sebagai pemegang hak suara. Itu esensi filosofinya,” kata Firman di Senayan, Jakarta.
Menurut Firman, sejauh ini memang DPR telah melakukan kajian terkait kemungkinan kembali kepada UUD 1945. Namun, dari banyak kajian tersebut sebagian besar masyarakat menginginkan pemilihan langsung.
“Nah amandemen ini memang sejak lama kita lakukan diskusi, kita lakukan satu pembahasan melalui forum-forum. Tapi mayoritas dari pada masyarakat itu masih menghendaki agar tetap pemilihan langsung, baik itu pilkada, pileg dan pilpres. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” pungkas Firman yang juga anggota Komisi II DPR itu.(*)
Baca berita menarik lainnya dalam artikel: Survei Charta Politika, Elektabilitas Prabowo Subianto Meningkat
Bagikan
Berita Terkait
Ahmad Sahroni cs Hanya ‘Diliburkan’ Sejenak dari Keanggotaan DPR, Pengamat: Ketika Situasi Mereda Mereka Bisa Aktif Lagi

Pakar Hukum Tata Negara UI: Tidak Ada Aturan Nonaktif Anggota DPR

Para Ketum Parpol Sepakat Pecat Anggota DPR Bermasalah Mulai 1 September

Puan: Parpol Bukan Sekadar Kendaraan Kekuasaan, tetapi Jembatan untuk Rakyat

Partai Tengah Lagi Bikin Strategi Simulasi Pemilu dan Pilkada

Jokowi Prediksi Perolehan Suara PSI Naik 3 Kali Lipat di 2029

PSI Rebranding dengan Logo Gajah, Elite PDIP: Pemilih Kami Sudah Punya Basis Kuat

10 Ribu Kader Diklaim Sudah Piih Calon Ketua Umum PSI

Kaesang Daftar Jadi Caketum PSI, Sebut Jokowi Tidak Ikut Terlibat hingga Ada Tokoh Besar yang Gabung

PKS Siap Transformasi Jadi Partai Lebih Inklusif dan Libatkan Generasi Muda
