Tips Menangani Anak Nakal dengan Bijak


Jangan buru-buru melabeli anak sebagai anak nakal. (Foto: anak-Pexels/Ketut Subiyanto)
SEORANG anak dianggap nakal biasanya ketika tak bisa mematuhi perintah atau keinginan sang orangtua. Padahal tak melulu demikian, karena bisa jadi para orang tua yang kurang memahami kebutuhan anak.
Jadi tak tepat bila anak kemudian diberikan label nakal. Menurut psikolog klinis anak dan remaja dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia (UI), Andini Sugeng, menuturkan, bahwa orang tua harus memahami lebih dulu perilaku sang anak.
Baca Juga:

"Perilaku nakal biasanya terlihat ketika anak menampilkan perilaku yang dianggap melanggar aturan yang ada di rumah atau suatu lingkungan sosial," tutur Andini, seperti yang dikutip dari laman Antara.
Lebih lanjut Andini menambahkan, bahwa usia anak anak menjadi gambaran bagaimana perkembangan serta kemampuannya, dalam memahami dan bersikap kooperatif pada aturan yang berlaku.
Karena itu, penting bagi orang tua untuk memberikan sejumlah pemahaman pada anak, tentang aturan-aturan yang ditetapkan di rumah. Aturan sebaikyna disesuaikan dengan usia dan kemapuan anak.
Kemudian penggunaan bahasa di rumah juga perlu diperhatikan, gunakanlah bahasa yang mudah dimengerti oleh anak, agar tak terjadi kesalahpahaman.
Ketika menghadapi sebuah perilaku anak yang dinilai kurang kooperatif, orangtua diharapkan dapat peka pada kebutuhan sang anak. Dalam hal ini, jangan sampai karena kurangnya perhatian dari orangtua, anak menjadi dianggap nakal lantaran tak mau mematuhi perintah orangtua.
Menurut Andini, kebutuhan anak tak hanya sebatas kebutuhan yang bersifat fisik maupun materi, tapi juga kebutuhan emosi.
"Ada perilaku-perilaku yang terlihat kurang kooperatif adalah cara anak mencari perhatian misalnya marah-marah padahal ingin diajak main atau dipeluk," jelas Andini.
Baca Juga:
80% Anak Muda Alami Penurunan Kondisi Mental Saat Pandemi

Andini menuturkan, bahwa para orangtua harus selalu mengawasi kondisi kesehatan sang anak. Seperti halnya anak sedang sakit, mengalami luka, lapar, kurang tidur hingga keluhan lainnya.
Karena, hal itu sangat baik untuk melihat perilaku anak, yang tiba-tiba menjadi tak kooperatif. Kemudian, orangtua pun perlu mendengar apa yang disampaikan oleh anak, meski terkesan sepele. Dengan begitu, anak akan merasa lebih diperhatikan oleh orangtuanya.
Tugas orang tua yakni memvalidasi emosi anak, agar dia merasa nyaman dengan mendapat perhatian yang sesuai, ketika tengah merasa tak nyaman, dan belum tau cara mengatasi masalahnya.
Dalam hal ini, orangtua wajib membantu dengan cara memberikan bimbingan cara mengatasi masalahnya.
"Hindari memberikan label 'negatif' karena berisiko membuat anak makin tidak nyaman. Selain itu bisa berakibat jangka panjang jika label itu berulang. Misalnya, anak menjadi merasa tidak mampu, tidak baik, atau tidak berharga," tutur Andini.
Selain itu, orangtua pun dapat memberikan konsekuensi terhadap anak, terhadap perilaku yang tidak sehat. Tapi, harus disesuaikan dengan tingkat kesalahan, usia dan kemampuan sang anak. Dengan catatan, orangtua tak boleh memberikan konsekuensi yang menyakiti fisik maupun mental. (Ryn)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Pemerintah Targetkan 12 Sekolah Garuda Rampung pada 2026, 4 Siap Beroperasi

Terungkap! Ini Dalang di Balik Tunjangan Gila-gilaan untuk Dokter Spesialis dan Subspesialis di Daerah 3T

Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres

Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya

Menlu RI: Presiden Prabowo Bahas Pusat Belajar Anak Pekerja Migran dengan Malaysia

Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui

Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental

Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan

Bahaya Screen Time Terlalu Lama Bagi Anak, Dari Cemas hingga Agresif
