Tingkat Polusi Udara Tiongkok Meningkat Pasca Lockdown


Pasca lockdown, polusi udara di Tiongkok seperti sebelum pandemi. (Foto: Unsplash/Victor Kiryanov)
TINGKAT polusi udara Tiongkok meningkat ketika negara itu mulai membuka lockdownnya. Selama penguncian pemerintah menghentikan lalu lintas transportasi dan berbagai industri. Melansir laman Now This, negara itu mengalami penurunan signifikan emisi CO2. Namun para ilmuwan memperingatkan penurunan itu bersifat sementara.
Menurut sebuah studi baru oleh organisasi penelitian independen Pusat Penelitian Energi (CREA), polusi udara di negara itu kembali seperti sebelum pandemi COVID-19 dimulai. Studi ini menganalisa tingkat polusi saat ini antara bulan April dan Mei, membandingkan dengan tingkat polusi selama penguncian. Mereka juga membandingkan tingkat polusi dengan periode yang sama tahun lalu.
Baca juga:

"Tingkat polusi udara turun drastis selama penguncian skala nasional pada bulan Februari. Mencapai titik terendah pada awal Maret dan sekarang melampaui level sebelum krisis," kata CREA dalam penelitian tersebut.
Studi mengatakan sudah diasumsikan bahwa melanjutkan produksi dan transportasi menyebabkan lebih banyak polusi udara kembali. Tetapi tingkat emisi yang meningkat mungkin menandakan bahwa sebagian besar industri sarat polusi tinggi di negara itu memimpin pemulihan ekonominya, dan menghasilkan pemulihan "kotor".
Studi itu mengingatkan kalau tingkat pencemaran udara yang meningkat adalah demonstrasi pentingnya memprioritaskan ekonomi hijau dan energi bersih dalam pemulihan dari krisis COVID-19.
Baca juga:

Setelah penguncian yang ketat, Tiongkok telah mulai kembali pada kehidupan normal termasuk Beijing dan Shanghai serta Wuhan. Namun negara ini tidak membuka beberapa daerah termasuk kota timur laut Shulan karena masih adanya kasus COVID-19.
Meskipun langkah-langkah jarak sosial telah menyebabkan peningkatan kualitas udara di beberapa negara. Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa penurunan emisi bersifat sementara. Pemangku kebijakan dan konsumen harus melakukan upaya bersama untuk benar-benar membuat perbedaan abadi.
"Dalam hal dampak langsung dan fisik, ya kita melihat penurunan emisi. Tapi tentu saja, yang penting adalah emisi kumulatif," kata pakar University of Wisconsin-Madison, Andrea Dutton, kepada National Geographic pada bulan April. (lgi)
Baca juga:
Eropa Berencana Membuka Perbatasan Menjelang Liburan Musim Panas
Bagikan
Leonard
Berita Terkait
Pagi Ini Kualitas Udara Jakarta Terburuk Kedua di Dunia, Nomor 1 Kota di Afrika

Jakarta Susun Mitigasi Kurangi Emisi GRK 30 Persen hingga 2030

Pagi ini, Kualitas Udara di Jakarta Terburuk Kedua di Dunia

Ciri-Ciri dan Risiko Warga Yang Alami Long COVID

Ketika Udara Bersih Menjadi Kebutuhan: Solusi Praktis untuk Lingkungan Sehat di Rumah

Populasi Serangga Terancam Alterasi Pola El Nino yang Dipicu Perubahan Iklim

4 Hari Berturut Kualitas Udara Jakarta Masuk 4 Besar Kota Terburuk di Dunia

Udara Jakarta Terburuk Kedua Dunia Setelah Kemarin Nomor 4, Warga Diimbau Pakai Masker

Hari Ini Kualitas Udara Jakarta Terburuk ke-4 Dunia, Nomor 1 Kinshasa

Menteri LH: Kendaraan Berat Tak Lolos Uji Emisi Kena Sanksi
