Sering Dianggap Remeh, Ini Bahayanya Disfungsi Seksual


Bantuan medis akan dapat menolong pengidap disfungsi ini. (Foto: Unsplash/Dainis Graveris)
SEKSUALITAS membawa pengaruh besar bagi kehidupan pribadi seseorang. Semakin puas urusan ranjangnya maka semakin bahagia hidupnya. Itu semua tentu bisa dicapai jika mereka memiliki fisik yang prima. Namun, tidak semua orang terberkati dengan fisik yang prima.
Ada beberapa pria yang harus berhadapan dengan masalah disfungsi seksual. Disfungsi seksual yakni sebuah kondisi dimana terjadi penurunan dorongan seksual (libido atau gairah) dan kelainan ejakulasi. Ada berbagai hal yang dapat mempengaruhi disfungsi seksual mengingat fungsi seksual melibatkan proses yang kompleks mulai dari sistem syaraf, hormon, dan pembuluh darah.
Baca Juga:

Ketika terjadi kelainan pada sistem ini, baik oleh penyakit, obat-obatan, gaya hidup, atau sebab lain dapat mempengaruhi proses ereksi, ejakulasi, dan orgasme. Walaupun sebenarnya ini masalah serius, disfungsi seksual sering dianggap remeh dan dianggap tabu untuk dibicarakan.
Nyatanya sebanyak 52% pria berusia 40-70 tahun sudah mengalami gejala disfungsi ereksi. Di Indonesia, prevalensi disfungsi ereksi pada populasi berusia 20-80 tahun cukup tinggi yaitu 35,6%. Angka kejadian ini meningkat seiring bertambahnya usia.
“Dalam manajemen disfungsi ereksi, dilakukan pemeriksaan komprehensif untuk menentukan faktor penyebab dan selanjutnya memilih terapi yang tepat dan optimal. Sebelum melakukan prosedur terapi, perlu adanya pemahaman akan ekspektasi pasien sehingga terapi yang dipilih nantinya sudah dipahami dengan baik," ujar Dr. dr. Nur Rasyid, SpU (K), dokter spesialis Urologi, Departemen Medik Urologi FKUI-RSCM.
Berapapun derajat disfungsi ereksi yang dialami oleh pasien, manajemen disfungsi ereksi selalu dimulai dari 3 hal, yaitu terapi penyebab DE yang bisa disembuhkan (curable), eliminasi faktor risiko dengan modifikasi gaya hidup, serta edukasi dan konseling pasien dan pasangan.
Selanjutnya dapat dilakukan terapi yang bersifat spesifik untuk tiap-tiap pasien, berkaitan dengan toleransi, invasiness (operatif vs non- operatif), efektivitas, biaya, keamanan, dan ekspektasi pasien.
Baca Juga:
Sering Dijadikan Obat, Heroin Ternyata Mengancam Penggunanya

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ (K), Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-
RSCM menjelaskan beberapa penelitian menemukan bahwa disfungsi seksual pada pria ternyata juga dapat memicu terjadinya masalah atau gangguan jiwa tertentu.
"Beberapa masalah kejiwaan yang memicu disfungsi seksual misalnya kecemasan yang menetap, adanya masalah marital yang memicu terjadinya disfungsi seksual, depresi, perasaan bersalah, stres, trauma, adiksi pornografi yang memicu timbulnya pornography induced erectile dysfunction,” urainya.
“Individu dengan disfungsi seksual perlu melakukan konsultasi dengan psikiater agar dapat dikenali secara dini
masalah kesehatan jiwa yang mungkin ada sehingga dapat diberikan tatalaksana yang sesuai," demikian anjurannya.
Baca Juga:
Pentingnya Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Masyarakat di Tengah Pandemi

Pada umumnya tata laksana dalam bidang psikiatri diberikan dengan konsep biopsikososial, yaitu terapi yang bersifat biologik seperti pemberian psikfarmakoterapi sesuai dengan kebutuhan pasien. Selain itu juga memberikan terapi psikososial seperti psikoterapi suportif yang bertujuan untuk mendukung atau mempetahankan sistem ego agar terus dapat berfungsi dengan baik, memperbaiki fungsi adaptif pasien, serta membantu pasien agar memiliki rasa percaya diri yang lebih optimal.
"Selain itu juga dapat diberikan jenis psikoterapi lain berupa psikoterapi yang bersifat re-edukatif seperti terapi kognitif perilaku untuk membantu pasien mengenali berbagai pikiran negatif yang mencetuskan timbulnya emosi maladaptif dan menuntun pasien mencari berbagai alternatif pikiran yang lebih adaptif sehingga bisa
mengatasi emosi negatif dan mampu membuat pasien merasa lebih nyaman," jelasnya.
Jika diperlukan juga dapat dilakukan psikoterapi yang berorientasi psikoanalitik untuk merekonstruksi kepribadian pasien atau meningkatkan tilikan pasien terhadap dirinya dan juga sekitarnya,” tambahnya. (avia)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke
