Rodrigo Duterte ‘The Punisher’ yang kini Menghadapi Persidangan atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan


Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.(foto: Instagram @rodyduterteofficial)
MERAHPUTIH.COM - DULUNYA pemimpin terpilih nan dijuluki ‘The Punisher’, Rodrigo Duterte kini diserahkan ke Den Haag untuk menghadapi persidangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan terkait dengan perang brutalnya terhadap narkoba. Inilah pembalikan tak terduga nasib bagi seorang politikus yang dulu terbuka menyombongkan diri tentang membunuh orang dan menempatkan lawan-lawannya dalam daftar penyerangan.
Rodrigo Duterte memimpin Filipina selama enam tahun yang penuh gejolak. Ia mengawasi penindakan keras terhadap narkoba, secara terbuka mengancam kritik dengan kematian, dan melontarkan kata-kata kasar kepada sejumlah pemimpin dunia, mulai dari Paus hingga mantan Presiden AS Barack Obama.
Pada Rabu (12/3), Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Belanda mengonfirmasi bahwa mantan pemimpin Filipina tersebut kini berada dalam tahanan mereka.
Duterte ialah seorang mantan jaksa, anggota kongres, dan wali kota. Ia membangun reputasi kerasnya di Kota Davao, Filipina Selatan. Pada 2016, ia meraih kemenangan pada pemilihan presiden. Janjinya ketika itu populis, yakni meniru taktik keras dari kampung halamannya dan memerangi narkoba serta pengedar narkoba di seluruh negara Asia Tenggara tersebut.
"Semua kalian yang terlibat narkoba, kalian berandal, saya benar-benar akan membunuh kalian," katanya di hadapan massa dalam salah satu pidato kampanye 2016 yang penuh dengan kata-kata kasar khasnya. "Saya tidak punya kesabaran, saya tidak ada jalan tengah. Entah kalian membunuh saya atau saya akan membunuh kalian semua, bajingan,” katanya ketika itu, dikutip CNN.
Begitu berkuasa, ia meluncurkan apa yang disebut kelompok hak asasi manusia sebagai ‘tim pembunuh’ untuk memberantas pengedar narkoba. Banyak korban tim ini ialah pemuda dari daerah kumuh yang ditembak polisi dan orang bersenjata liar sebagai bagian dari kampanye untuk menargetkan para pengedar.
Data polisi menyebutkan 6.000 orang terbunuh. Beberapa kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlah korban tewas bisa mencapai 30 ribu, dengan banyak orang tak bersalah dan orang yang tidak terlibat menjadi korban tembakan.
Kepresidenan Duterte yang penuh darah berakhir pada 2022. Tiga tahun kemudian, hanya delapan polisi yang dihukum atas lima korban yang terbunuh dalam perang melawan narkoba.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) meluncurkan penyelidikan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Duterte selama masa jabatannya sebagai pemimpin nasional dan Wali Kota Davao. Duterte lama telah menyangkal tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan berpendapat bahwa masalah narkoba merupakan urusan penegakan hukum domestik. Ia berulang kali mengatakan tidak akan tunduk pada yurisdiksi asing dan mengejek ICC, mendesak jaksa untuk ‘cepat-cepat’ menindaklanjutinya.
Dua hari sebelum penangkapannya, ia mengecam ICC dalam pidato khasnya yang penuh kemarahan kepada pendukungnya di Hong Kong. "Dari berita saya sendiri, saya memiliki surat perintah, dari ICC atau semacamnya, bajingan ini sudah lama mengejar saya. Apa yang saya lakukan salah?" katanya.
Baca juga:
Pemilihan Waktu saat Dua Keluarga Politisi Berseteru
Penangkapan ini amat mungkin lebih disebabkan Duterte yang berada di pihak berseberangan dalam perseteruan antardua keluarga paling terkenal di Filipina. Di saat bersamaan, ICC tidak dapat melakukan penangkapan secara mandiri dan bergantung pada kerja sama pemerintah nasional untuk melaksanakan surat perintah.
Klan Duterte sebelumnya berada dalam aliansi dengan dinasti politik Marcos yang terkenal. Putri Duterte, Sara Duterte-Carpio, menjabat wakil presiden untuk Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, aliansi itu runtuh, jatuh ke penghinaan publik dan saling ejek.
Pada Oktober 2024, Duterte-Carpio menyampaikan berbagai keluhan terhadap presiden dalam konferensi pers yang disiarkan langsung selama 2 jam, mengatakan bahwa dia ‘ingin memenggal kepalanya’.
Lebih jauh, pada konferensi pers daring pada 23 November 2024, ia mengatakan telah menyewa seorang pembunuh untuk membunuh Marcos, istrinya, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Martin Romualdez jika ia dibunuh. Ia menegaskan ancaman yang ia peringatkan bukanlah lelucon.
Marcos mengatakan Filipina akan ‘menghentikan’ kontak dengan ICC, karena Manila tidak mengakui kewenangannya dalam masalah kedaulatan negara. Hal itu disebabkan Duterte menarik Filipina dari pengadilan pada 2019. Namun, menurut mekanisme penarikan ICC, pengadilan tetap memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan selama periode keanggotaan negara tersebut.
Presiden Marcos mengatakan ia diwajibkan untuk mengikuti permintaan Interpol untuk menangkap Duterte. Marcos mengatakan Interpol meminta bantuan. Oleh karena itu, pemerintah Filipina mematuhi karena memiliki komitmen kepada Interpol yang harus mereka penuhi.
“Jika kami tidak melakukan itu, Interpol tidak akan membantu kami dalam kasus lain yang melibatkan buron Filipina di luar negeri," kata Marcos dalam konferensi pers larut malam setelah pesawat yang membawa Duterte lepas landas.(dwi)
Baca juga:
Duterte Akui Bertanggung Jawab atas Perang Narkoba, Siap Hadapi ICC
Bagikan
Berita Terkait
Filipina Juga Berhasil Nego Tarif Impor AS, Sama Kaya Indonesia Besarnya 19%

ASEAN Tengah Bahas Kode Etik Luat China Selatan, Tekan Konflik Regional

Film Horor Filipina 'Scarecrow' Ceritakan Dampak Ketamakan Manusia akan Kekayaan

Denise Julia akan Jalani Tur di Jakarta & Bangkok pada 2025
PM Kanada Terpukul Belasan Orang Tewas saat Festival Filipina di Vancouver

Serangan Mobil Saat Festival Filipina di Vancouver Kanada, 11 Orang Tewas Ada Balita Hingga Lansia
Filipina Pulangkan 29 WNI, Polri Pisahkan Antara Korban dan Pelaku Judol dan Online Scam

Pejabat Filipina Bantah Cawe-Cawe dalam Penangkapan Duterte dengan ICC

Tersangkut Kasus Judi di Filipina, Juru Bicara Duterte Ajukan Suaka di Belanda

Pendukung Rodrigo Duterte Berunjuk Rasa Tuntut Pembebasan dan Pemulangan
