Resesi Ekonomi Hantam Dunia, Kemiskinan Ekstrem Kian Bertambah
Warga memompa air tanah di depan rumahnya di tepi rel kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (14/9/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU
MerahPutih.com - Inflasi yang tinggi, suku bunga naik, dan beban utang dan aliran modal yang tersendat, membuat ekonomi global sangat dekat dengan resesi. Bank Dunia telah menurunkan perkiraan pertumbuhan 2023 kami dari 3,0 persen menjadi 1,9 persen untuk pertumbuhan global.
"Itu sangat dekat dengan resesi dunia. Itu adalah resesi dunia yang bisa terjadi dalam keadaan tertentu," kata kata Presiden Bank Dunia David Malpass dikutip Antara, Jumat (14/10).
Baca Juga:
PKS Sindir Angka Kemiskinan di Solo, Gibran Fokus Pertumbuhan Ekonomi
Bank Dunia memperingatkan bahwa ketika bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi, dunia mungkin akan menuju resesi global pada 2023, dengan perkiraan pertumbuhan hanya 0,5 persen.
Selain itu, saat ini, pertumbuhan penduduk dunia diperkirakan sebesar 1,1 persen per tahun.
"Jadi jika pertumbuhan dunia jauh lebih lambat, itu berarti orang-orang akan mundur," kata Malpass.
Malpass menegaskan, pandemi COVID-19 telah memberikan kemunduran terbesar bagi upaya pengurangan kemiskinan global sejak 1990, mendorong sekitar 70 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2020, dan perang di Ukraina mengancam akan memperburuk keadaan.
Menurut Laporan Kemiskinan dan Kemakmuran Bersama, pendapatan median global turun 4,0 persen pada tahun 2020, penurunan pertama sejak pengukuran pendapatan median dimulai pada tahun 1990.
"Jadi jika kita mengalami resesi dunia sekarang, itu juga akan menekan pendapatan rata-rata, yang berarti bahwa orang-orang di bagian bawah dari skala pendapatan akan turun," kata Malpass.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tantangan ekonomi global membutuhkan kepemimpinan kuat dan aksi bersama dari negara-negara G20 untuk mengurangi risiko.
"Tantangan global membutuhkan aksi G20 untuk melindungi masyarakat lemah sekaligus membawa kondisi dunia kembali kuat, seimbang, berkelanjutan dan pertumbuhan inklusif," katanya.
Ia menegaskan, kondisi dunia yang menghadapi risiko seperti inflasi tinggi, perlambatan pertumbuhan, ketidakamanan sektor energi dan pangan, perubahan iklim serta konflik geopolitik juga membutuhkan bauran kebijakan yang memadai.
"Tantangan global juga membutuhkan kerja sama dan sinkronisasi bauran kebijakan makro maupun fiskal serta instrumen kebijakan untuk mengatasi masalah bersama dan mendukung pemulihan ekonomi secara efektif," katanya. (*)
Baca Juga:
Wapres Dorong KPRBN Cari Terobosan Penggunaan Anggaran untuk Tangani Kemiskinan
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Banggar DPR Ingatkan Pemerintah Tak Tergesa Laksanakan Redenominasi Rupiah
Menko Airlangga Malah Senang Emas Sumbang Inflasi Terbesar, Ini Alasannya
Harga Emas Perhiasan Picu Lonjakan Inflasi RI, Tertinggi dalam 26 Bulan
Indonesia Inflasi 0,28 di Oktober, Sumut Alami Inflasi Tertinggi Capai 4,97 Persen
Kendalikan Harga, Inflasi Dipantau Setiap Minggu
3,9 Juta Nelayan Masuk Miskin Ekstrem, DPR Desak Program KNMP Jadi Solusi
Inflasi September Capai 0,21 Persen, Tertinggi di Deli Serdang Sebesar 6,81 persen
Inflasi Diklaim Terkendali, Rupiah Menguat
Alasan Bitcoin Jadi Solusi Investasi Menarik di Tengah Ancaman Inflasi
Biar Rakyat Senang Saat Belanja, Mendagri Perintahkan Daerah Tahan Inflasi Maksimal di 3,5 Persen