Pengamat Intelijen Sebut Aksi Teror Lone Wolf Berbahaya dan Sulit Terdeteksi
Terduga teroris ZA saat masuk ke Mabes Polri, Rabu (31/3). Foto: Tangkapan Layar
MerahPutih.com - Aksi teror yang dilakukan sendiri (lone wolf) disebut menjadi tantangan bagi Polri. Pelaku yang bertindak sendiri cenderung sulit terdeteksi. Seperti aksi ZA (25) yang melakukan penyerangan di Mabes Polri.
Pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta menilai, aksi teror ini sangat berbahaya karena sulit dideteksi.
Baca Juga
Terduga Teroris ZA Dikenal Cerdas dan Berhenti Kuliah Secara Misterius
"Pelaku merancang dan melakukan sendiri,” kata dia kepada wartawan, Minggu (4/4).
Stanislaus menyebut aksi teror sebelumnya dilakukan kelompok besar yang terencana dan rapi. Tren itu bergeser menjadi sistem lone wolf.
“Aksinya tidak didesain atau direncanakan atau dibantu oleh pihak lain,” papar dia.
Menurut dia, seseorang yang terpapar paham radikal seharusnya dapat diketahui orang terdekat. Sebab, biasanya ada perubahan perilaku seperti menarik diri dari masyarakat dan menolak berbaur dengan orang yang keyakinannya berbeda.
“Kemudian menolak acara-acara budaya, anti pemerintah, dan menganggap pemerintah sebagai musuh,” tutur Stanislaus.
Stanislaus mengatakan kepedulian antaranggota keluarga sangat penting. Terutama, mencegah dan mengetahui adanya paparan paham radikal.
“Pemerintah tidak mungkin sendirian dalam mencegah dan menangani terorisme karena berbagai keterbatasannya,” papar dia.
Menurut Stanislaus, perlu ada pembekalan bagi masyarakat untuk mengetahui ciri seseorang terpapar paham radikal. Harapannya masyarakat bisa proaktif mencegah dan mengawasi tindak tanduk orang terdekat.
“Untuk itu kunci utama dalam pencegahan terorisme adalah dengan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat,” tutur dia.
Namun, kata Stanislaus, pencegahan bukan berarti terlibat dalam aksi penindakan. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk deteksi dini dan ketahanan ideologi. Sehingga ketika ada paparan atau doktrinasi paham radikal masyarakat tidak terpengaruh.
"Sekaligus bisa berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk penanganan lebih lanjut," ujarnya.
Sedangkan langkah yang bisa dilakukan saat ini, menurut dia, pemerintah bersama-sama dengan tokoh agama secara kompak menyatakan bahwa paham radikal yang membenarkan terorisme adalah salah. Radikalisme bukan ajaran agama dan melanggar hukum.
Setelah sepakat radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama, maka masyarakat dibekali dengan kemampuan untuk deteksi dini paham radikalisme dan terorisme.
"Sehingga menjadi peka jika ada anggota keluarga atau masyarakat sekitar yang mempunyai ideologi tersebut," katanya.
Menurut dia, konflik sosial bisa dihindari jika memang pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sudah sepakat bahwa ajaran radikalisme terorisme bertentangan dengan agama.
"Jika ini terus digaungkan maka masyarakat akan paham dan sadar dan tidak akan mengikuti dan mendukung kelompok tersebut," imbuhnya.
Stanislaus mengistilahkan masyarakat perlu membangun radar sosial.
"Untuk memastikan keluarga dan lingkungannya tidak terpapar paham radikal yang mengarah pada terorisme," pungkasnya. (Knu)
Baca Juga
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
Menko Yusril Sebut Pengadilan Militer AS Akan Adili Hambali Bulan Depan
4 Teroris Ditangkap di Sumut dan Sumbar, Diduga Sebarkan Paham Radikal hingga Dukung ISIS
785 Korban Terorisme Telah Terima Kompensasi Dari Negara, Tertinggi Rp 250 Juta
ASN Kemenag Jadi Tersangka NII, Wamenag Minta Densus 88 Tidak Gegabah Beri Label Teroris
Terungkap, Penghubung Teroris dengan Penyedia Dana dan Logistik Selama Ini Bersembunyi di Bogor
BNPT Beberkan 4 Sistem Deteksi Dini Cegah Terorisme di 2026
Pemerintah Bakal Coret Penerima Bansos yang Terbukti Terlibat Pendanaan Terorisme Hingga Tipikor
20 Orang Tewas dalam Serangan Bom Bunuh Diri di Gereja Suriah
Kim Jong-un Perintahkan Militer Korut Siaga Perang Total Sikapi Kebijakan AS
Situasi Yang Sempat Mencekam di Mapolres Pacitan, Kewaspadaan Ditingkatkan Antisipasi Teror Susulan