Pencurian Data Diniai Belum Dorong Pemerintah-DPR Wujudkan RUU RDP
Ilustrasi (Foto: pixabay/B_a)
Merahputih.com - Pencurian data yang masih terjadi di Indonesia belum mendorong pemerintah dan DPR mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU RDP).
Padahal tingkat keamanan siber berpengaruh pada minat investor. Pembahasan RUU PDP juga hingga sekarang belum rampung.
"Kalaupun sudah selesai, perlu membaca secara cermat apakah isinya cukup kuat untuk melindungi masyarakat atau malah sebaliknya," kata Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha Dikutip Antara, Minggu (6/6).
Baca Juga:
Menurut Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini, tanpa undang-undang tersebut semua pengendali data pribadi (penyedia platform) tidak ada petunjuk sejauh mana pengamanan harus dilakukan dan standar macam apa yang harus mereka gunakan.
Oleh karena itu, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi termasuk salah satu yang wajib dikebut penyelesaiannya hingga menjadi undang-undang. "Dengan kondisi saat ini, perlindungan pada data pribadi masyarakat di Tanah Air sangat rendah," kata Pratama.
Situasi seperti ini, sebenarnya tidak sehat. Apalagi bila pemerintah menginginkan banyak investor masuk. Masalahnya, mereka akan melihat bagaimana perlindungan negara pada data penduduknya.
Hal itulah yang menjadikan peringkat Indonesia rendah di NCSI (National Cyber Security Index) yang dibuat oleh Estonia. Data NCSI pada Minggu (6/6) pagi menunjukkan Indonesia di peringkat ke-77 atau turun dari sebelumnya yang berada di peringkat ke-72.
Ia menyebutkan salah satu yang menyebabkan peringkat serendah itu adalah ketiadaan regulasi tentang perlindungan data pribadi dan regulasi penguatan pertahanan siber nasional.
Menjawab hal yang terkait dengan makin banyak aplikasi pada masa pandemik COVID-19 di tengah kesadaran berkeamanan siber masih rendah, Pratama menegaskan bahwa pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pertama adalah UU Perlindungan Data Pribadi.
Tidak pelak lagi banyak peristiwa kebocoran data pribadi namun tidak jelas apa bentuk pertanggungjawaban secara hukum dan langkah-langkah teknis dari negara maupun swasta.
Apalagi, sejauh ini tidak ada regulasi yang melindungi data pribadi secara kuat. Akibatnya, bisa banyak terjadi kebocoran data, baik di lembaga negara maupun swasta, tetapi tidak ada yang bertanggung jawab, tidak ada evaluasi, dan tidak ada ganti rugi bagi masyarakat.
Baca Juga:
Terdapat 'Celah' Pada Tiktok yang Bisa dimanfaatkan oleh Peretas
Pratama lantas mengingatkan warganet ketika memilih aplikasi maupun situs internet harus selektif, terlebih dahulu melihat review pada aplikasi. Bila mencurigakan, lebih baik tidak menginstalnya.
"Bila masuk aplikasi dan situs diminta masukkan berbagai data yang tidak relevan, sebaiknya hindari saja karena ditakutkan itu adalah aplikasi dan situs phishing," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini. (*)
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Amnesty International Minta RUU Ketahanan dan Keamanan Siber Dikaji Ulang, Dinilai Bisa Batasi Kebebasan Berekspresi
DPR Ingatkan Pentingnya AI dan Cyber Defense untuk Fungsi Pertahanan Modern di Tubuh TNI
Pemerintah Segera Susun Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber
Kebocoran Data Gmail dan Cara Melindungi Akun dari Serangan Phishing
Era Baru Kejahatan Digital, CrowdStrike Sebut Serangan AI Makin Meningkat di 2025
Ribuan Malware Mengintai, Inilah 3 'Dosa' Fatal yang Bikin Data Anda Ludes!
Google Cloud Bikin Pusat Operasi Keamanan di Indonesia, Didukug AI dan Berbasis Intelijen
Komisi III Tanggapi Serangan Siber Draf RUU KUHAP di Situs Web Resmi DPR
Konflik Merambah Ranah Digital, Peretas Pro-Israel Klaim Curi Rp 1,44 Triliun dari Bursa Kripto Terbesar Iran
5 Amunisi Hukum Menkomdigi Berantas Kejahatan Siber dan Judol, Ada 1 Sasar Anak-Anak