Pemasukan Cukai Tinggi, Industri Olahan Tembakau Diusulkan Dapat Insentif


Pemeriksaan cukai. (Foto: Antara)
MerahPutih.com - Industri Hasil Pengolahan Tembakau dan Lainnya (HPTL) telah berkontribusi bagi peningkatan penerimaan cukai negara. Sehingga industri ini dinilai layak mendapatkan insentif dari pemeritah.
"Harus fair menilai bahwa rata-rata pemasukan negara dari cukai tembakau juga besar, meskipun ada kritik terhadapnya. Makanya perlu ada insentif inovasi bagi industri olahan tembakau untuk pengembangan produk agar dapat diterima publik," ujar Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya di Jakarta, Rabu (3/3).
Industri HPTL yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) menyumbang penerimaan cukai senilai Rp426,6 miliar. Sementara tahun lalu, dalam kondisi pandemi, kontribusinya tumbuh sampai 60 persen menjadi Rp680,3 miliar.
Baca Juga:
Cukai Rokok Naik 12,5 Persen, Sri Mulyani Perketat Pengawasan
Rantai pasok industri HPTL yang cukup kompleks, jadi peluang untuk masuknya investasi lebih banyak. Dengan kompleksitasnya, insentif ke industri HPTL secara simultan bakal mendorong industri lain misalnya industri kimia, industri alat-alat kimia, sampai industri pengemasan.
Ia mengataka, Undang-Undang Cipta Kerja yang dihasilkan DPR bersama pemerintah, bisa jadi sarana mendorong investasi di sektor industri HPTL.
"Sekarang giliran pemerintah untuk memanfaatkan beleid tersebut sekaligus regulasi turunannya untuk menciptakan iklim investasi yang sederhana, mudah dan cepat, dan berperan aktif dalam menarik investor masuk ke tanah air," katanya.
Ia menegaskan, pabrikan rokok, terutama yang besar dan memiliki sumber daya, juga dapat melirik peluang investasi di industri HPTL.
"Selain berkontribusi pada penerimaan negara, produk HPTL juga dinilai memiliki dampak eksternalitas yang lebih rendah," katanya.
Saat ini, produk-produk HPTL dikenakan sistem tarif cukai persentase (ad valorem) sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE). Sistem tersebut berbeda dengan yang diberlakukan atas produk rokok konvensional yang menggunakan sistem tarif cukai spesifik yang lebih sederhana.

Skema ad valorem dinilai memberatkan para pelaku industri HPTL. Terlebih, besaran tarif 57 persen itu merupakan yang tertinggi dalam Undang-Undang Cukai dan lebih tinggi dari rerata persentase tarif cukai untuk rokok konvensional.
Produk-produk HPTL diklaim memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional.
Hasil penelitian Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2015 dan 2018, serta diperbaharui pada 2020 yang menyatakan rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. (*)
Baca Juga:
Hati-hati Pemerintah Naikkan Cukai Rokok di Saat Pandemi COVID-19
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Pekerja Gudang Garam Terancam PHK Massal, Pemerintah Diminta Bereskan Masalah Rokok Ilegal dan Cukai Tinggi

Penelitian Klaim Rokok Elektrik Jadi Jawaban Ampuh Berhenti Merokok, Tingkat Keberhasilan Hampir Tiga Kali Lipat dari Terapi NRT

Vape yang Sebabkan Pemakainya seperti ‘Zombie’ Berpotensi Masuk Indonesia, DPR Peringatkan Polisi hingga BPOM Jangan Diam Saja

Dukung Satgas Rokok Ilegal, Jaga Penerimaan Negara dan Lindungi Industri Legal

Masa Depan Jakarta sebagai Kota Global Ditentukan oleh KTR, Sudah Saatnya Bebas Rokok

Bukan Solusi, Raperda KTR DKI Dinilai Malah Perparah Pengangguran dan Hantam Daya Beli Masyarakat

Istana Tegaskan Letjen Djaka Budhi Utama Sudah Jadi Pejabat Eselon 1, Bukan Lagi Tentara Aktif

Pelantikan Letjen Djaka Jadi Dirjen Bea Cukai Tuai Kritik, Muzani: Itu Hak Prerogatif Presiden

Mabes TNI Berhentikan Djaka Budi Utama Setelah Dilantik Jadi Dirjen Bea Cukai

2 Perintah Prabowo untuk Letjen Djaka Budi Utama: Berantas Praktik Ilegal serta Perbaiki Citra Bea dan Cukai
