Mitologi Anak Makassar Jago di Samudra


Pembuatan kapal Phinisi (foto: Kapal Phinisi twitter)
MerahPutih Budaya- Berada di garis pantai timur Sulawesi Selatan, anak-anak Makassar disebut-sebut sebagai Raja Samudra. Tak hanya pandai dalam membuat kapal layar, orang Makassar juga jago mengarungi samudra.
Banyak pelaut makassar yang mampu berlayar hingga belahan dunia seberang, membuka jalur pelayaran hingga membuat armada pelabuhan tempat persinggahan dan pertukaran sumber daya alam.
Pengaruh lingkungan pesisir bagi terciptanya kultur maritim di Sulawesi Selatan memang sangat dominan, selain faktor itu, mitologi yang berkembang di tengah masyarakat ikut mendorong hal tersebut.
Terkutip dari buku Laut dan Kebudayaan, Penulis Mukhlis Paeni menyebut mitologi terkait adanya pembagian semesta. Orang Makassar percaya betul dengan mitologi itu.
"Alam semesta terbagi tiga, Boting Langi adalah dunia atas tempat bertahta sang pemberi nasib (Patotoe), Ale Limo adalah bumi tempat tinggal manusia dan Todang Toja adalah dunia bawah, dasar samudra," tulis, Mukhlis Paeni.
Menurutnya, dari hasil perkawinan antara dunia tengah (bumi) dan dunia Bawah (samudra) menjadi pemahaman yang penting bagi orang Makassar dalam membentuk geneologi kemaritiman. Orang Bugis Makassar memandang bawah tanah dan laut mempunyai kedudukan dan harkat yang sama dangan dunia atas dan dunia tengah. Seperti kutipan cerita mitologi yang sudah melekat dalam kultur rakyat pesisir ini.
"Putra Potatoe (Batara Guru) adalah manusia dewa pertama yang diturunkan ke bumi, menikah dengan We Nyii Timo, putri penguasa pertiwi yang bertahta di dasar samudra. Pernikahan antara dua penguasa dunia bumi dan laut inilah yang membangun pemahaman kesamaan harkat dan derajat antara laut dan darat bagi masyarakat Bugis Makassar," tulis Paeni dalam buku Laut dan kebudayaan.
Selanjutnya dari hasil pernikahan itu lahirlah keturunan mereka yang hobbi berlayar dengan menggunakan kapal besar Waqqak Tanete. Hingga cucu mereka, Sawerigading dan We Tanri Abeng, diperintahkan mengarungi samudra untuk mencari jodoh hingga kenegeri Cina.
"Dikisahkan, Sawerigading jatuh cinta kepada saudara kembarnya, lantaran ini tidak dibolehkan adat, Sawerigading diperintahkan untuk berlayar mencari pujaan hatinya." ungkap Paeni.
Atas perintah itu, Sawerigading kemudian menebang pohon Walenrengge (pohon raksasa tempat bermukim mahkluk lainnya) untuk dijadikan kapal yang akan digunakan berlayar mencari jodohnya.
Nasib nahas menimpa Sawerigading setelah kembali dari pencahariannya, ditengah selat selayar, kapal besarnya dihantam ombak dan topan hingga tenggelam dan kapalnya hancur berkeping-keping.
"Kumpulan kerangka Walenrengge inilah yang dimanfaatkan oleh orang Sulawesi Selatan terutama orang Bira di Bulukumba untuk membuat perahu pinisi yang hingga saat ini masih dikenal." tutupnya. (fdi)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Rencana Pemerintah Akan Bangun 100 Kampung Nelayan Merah Putih pada Tahun 2025

Menbud Pastikan Pacu Jalur yang Kini Viral Sudah Lama Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional

Komisi IV DPR Desak Menteri KKP Tindak Tegas Praktik Penjualan Pulau Kecil

Pemprov DKI Segera Rampungkan Perda yang Melarang Ondel-ondel Ngamen di Jalan, Rano Karno: Mudah-mudahan Sebelum HUT Jakarta

KKP Turunkan Tim Investigasi untuk Periksa Tambang Nikel yang Merusak Alam di Raja Ampat

Wajah Baru Indonesia Kaya Konsiten Usung Budaya Indonesia dengan Konsep Kekinian

Komisi X DPR Soroti Transparansi dan Partisipasi Publik dengan Menteri Kebudayaan
