Mikroba Bisa Tumpangi Perut Pelancong


Perut para pengelana ini mungkin menyimpan penumpang gelap mikroba baru. (Foto: 123RF/Surasak Saneha)
PELANCONG yang pulang dari negara asing membawa kembali lebih dari sekadar oleh-oleh dan kenangan wisata. Perut mereka mungkin menyimpan penumpang gelap mikroba baru. Bahanyanya, beberapa di antaranya mengandung sekuens gen yang membuat antibiotik kurang efektif.
Temuan baru yang diterbitkan daring di Genome Medicine (7/6), menarik perhatian karena para peneliti menangkap profil mikrobioma tinja para pelancong sebelum mereka berangkat dan segera setelah mereka kembali. Perbandingan sebelum dan sesudah adalah temuan paling baru di sini. Demikian dikatakan Jonathan Eisen, PhD, profesor dan ahli mikrobiologi di University of California, AS.
Eisen yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan, "Mereka mendapatkan gambaran tentang waktu di mana kumpulan organisme atau gen resistensi antimikroba berada."
Baca juga:

Pada penelitian ini para ilmuwan membuat profil sampel tinja dari 190 orang yang bepergian dari kota domisili mereka di Belanda ke daerah-daerah di Afrika Utara dan Timur serta Asia Selatan dan Tenggara. Waktu yang dihabiskan pengunjung di tempat tujuan setidaknya seminggu, tetapi tidak lebih dari tiga bulan. Mereka juga tidak minum antibiotik tiga bulan sebelum perjalanan.
Segera setelah mereka kembali dari perjalanan, yang sebagian besar dilakukan untuk liburan, individu yang sama memberikan sampel tinja tambahan. Analisis sampel tersebut menunjukkan banyak mikrobiota baru yang datang bersama dengan inang perjalanan mereka, termasuk 56 sekuens gen yang terkait dengan resistensi antibiotik.
Orang dapat memiliki mikroba baru di usus mereka dengan beberapa cara, termasuk dengan makan dan minum dan menggunakan fasilitas toilet di tempat yang mereka kunjungi. Siapa pun yang bepergian dianggap sebagai 'wadah' untuk teman mikroba baru, dan tempat baru yang mereka kunjungi adalah 'sumbernya'.
Mereka yang mengunjungi tujuan yang sama cenderung mengambil mikroba baru yang serupa, menunjukkan kekhususan bakteri ini dan gen mereka ke sumber geografis. Para peneliti menguji kemampuan beberapa sekuens gen tersebut akan resistensi antibiotik terhadap bakteri E.coli dan menemukan bahwa mereka resisten.
Baca juga:

Studi ini tidak memeriksa apakah mikroba yang didapat ini berhubungan dengan risiko pengembangan penyakit manusia, kata penulis studi Gautam Dantas, PhD, seorang profesor patologi dan imunologi di Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St. Louis, AS.
Dantas dan rekan-rekannya juga tidak mengevaluasi apa yang terjadi pada penghuni usus baru setelah pengelana menetap di rumah. "Kami tidak tahu seberapa sementara akuisisi itu. Siapa tahu, mungkin satu minggu kemudian, setengah dari hal-hal ini hilang, mungkin setahun kemudian semuanya hilang ... kami belum memiliki jawaban itu," kata Dantas seperti diberitakan webmd (14/6).
Kekhawatiran dengan kehadiran sementara gen resistensi baru di usus seseorang berhubungan dengan cara bakteri cenderung bertukar sekuens. Sebuah sel bakteri yang membawa gen seperti itu mungkin tidak akan bertahan lama, tetapi jika ia mentransfer gen itu ke mikroba asli di usus seseorang, sekuens gen itu sendiri bisa menjadi penduduk permanen.
Pada titik tertentu, "sekuens akhirnya bisa melompat ke bug yang dapat menyebabkan penyakit," kata Dantas, melucuti efek pengobatan antibiotik yang biasa.
Hasil hipotetis dari efek antibiotik yang dikompromikan masih harus dibuktikan, kata Dantas. Dia menekankan bahwa temuan saat ini menunjukkan bahwa perjalanan internasional membawa peningkatan risiko mengambil langkah pertama ke arah hadirnya mikroba yang mengandung sekuens gen resisten.
Eisen menambahkan, meskipun pengambilan sampel untuk mikroba dan gen resisten cukup teliti di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, "Kami tidak memiliki banyak data resistensi antimikroba dari tempat lain." Studi seperti ini menunjukkan bagaimana para pengelana dapat menjadi "wadah" bagi mikroba ini dan sekuensnya ketika mereka melakukan perjalanan ke 'sumber'. Penelitian ini menyoroti perlunya pengawasan global, katanya.
"Kami tahu bahwa kami memiliki masalah global dengan resistensi antimikroba dan pergerakan orang berkontribusi terhadap penyebaran. Tidak perlu dipikirkan lagi bahwa kita membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana orang membawa para mikroba ini dari satu tempat ke tempat lain, dan penelitian ini manyajikan bagian dari gambaran itu," demikian jelas Eisen. (aru)
Baca juga:
Bagikan
Ananda Dimas Prasetya
Berita Terkait
Pemprov Layanan Open Top Tour of Jakarta melintasi sejumlah titik bersejarah

Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga

Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak

Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas

Makanan Halal Magnet Utama Pilihan Liburan Muslim Indonesia

Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan

Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Aji Mumpung Banget ini, Seoul Tawarkan Paket Wisata dengan Kelas Tari 'KPop Demon Hunters'

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong
