Mengikis Pengalaman Traumatis KDRT pada Anak


Percuma kalau trauma pada anak sudah ditangani, KDRT di rumah terjadi lagi. (Foto: Pixabay/Gerd Altmann)
KEKERASAN dalam Rumah Tangga bukan sesuatu yang bisa dianggap normal. Dampak KDRT sering kali bertahan lama. Anak menjadi pihak yang paling rentan terdampak pengalaman traumatis KDRT. Anak dapat menjadi korban langsung KDRT atau hanya melihat peristiwa tersebut. Keduanya sama-sama memiliki dampak yang tak bisa disepelekan.
Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPED, psikolog lulusan Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa upaya mengikis pengalaman traumatis pada anak melibatkan orangtua. Tak hanya anak yang harus melakukan terapi, melainkan orang tuanya juga perlu.
"Anak itu sebetulnya kalau dia melihat saja, dia bisa trauma. Jadi sebenarnya yang harus di-handle itu adalah abuser-nya. Karena kalau anaknya trauma kan harus ada penanganan tuh. Karena kalau kekerasan itu traumanya dalam dan harus ditangani sama profesional," kata Rosidana kepada Antara, Selasa (11/10).
Baca juga:

Menurut Rosdiana, percuma kalau trauma pada anak sudah ditangani, KDRT di rumah terjadi lagi. "Yang ada itu bisa jadi tambah parah karena dia merasa itu cycle yang dia enggak bisa stop. Dan kalau yang diterapi cuma anaknya, nanti dia akan merasa bahwa dia adalah penyebab," sambung Rosdiana.
Jika anak tidak melakukan terapi ketika mengalami trauma karena KDRT, ini bisa saja berdampak pada kehidupannya saat dewasa. Misalnya mempengaruhi hubungan asmara sang anak di masa depan.
Kendati demikian, Rosdiana mengatakan bahwa hal ini tidak selalu terjadi. Sebab, setiap orang akan memiliki dampak yang berbeda-beda saat mengalami trauma.
"Bisa berpengaruh juga ke hubungan asmara dia ketika dewasa. Tapi ini tergantung, ya. Anak ini korban, atau dia hanya melihat. Tiap orang itu kan beda, jadi dampaknya juga akan berbeda pada setiap orang. Bisa jadi kakak adik mengalami hal yang sama tapi dampaknya berbeda itu bisa," jelas Rosdiana.
Baca juga:

Sementara itu, Kasandra Putranto, psikolog dari Universitas Indonesia, memaparkan bahwa anak yang melihat perilaku kekerasan setiap hari dalam rumah dapat mengalami gangguan fisik, mental, dan emosional.
"Gangguan emosional dapat dimanifestasikan dalam bentuk peningkatan perilaku agresif, kemarahan, kekerasan, perilaku menentang dan ketidakpatuhan serta timbul gangguan emosional dalam diri anak," ungkap Kasandra.
Gangguan emosional tersebut antara lain takut yang berlebihan, kecemasan, relasi buruk dengan saudara kandung atau teman, bahkan hubungan dengan orang tua serta mengakibatkan penurunan self esteem pada anak.
Semua bentuk gangguan tersebut dapat terlihat dari menurunnya prestasi anak di sekolah, terbatasnya kemampuan korban solving, dan kecenderungan sikap anak untuk melakukan tindak kekerasan. (dru)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Korban Kekerasan Seksual Anak Minta Elon Musk Hapus Tautan ke Gambarnya, Pihak Penjual Terdeteksi Berlokasi di Jakarta

Tega! Kepala Sekolah di Maluku Cabuli Siswa SD di Kebun Warga Hingga Hamil

Politikus DPR Desak Pemerintah Segera Blokir Roblox, Jerumuskan Masa Depan Anak ke Tindak Kekerasan

4 Anak Diduga Alami Kekerasan di Boyolali, Dikurung dan Dirantai

Anak di Bawah Umur di Cianjur Diperkosa 12 Orang, Polisi Harus Gerak Cepat Tangkap Buron

Anak Diterlantarkan di Jakarta Dalam Kondisi Memprihatinkan, Pemerintah Desak Polisi Segera Tangkap Orang Tua Korban

Pemprov DKI Desak Korban Kekerasan Perempuan dan Anak Berani Bersuara, Jangan Takut Melapor

Penembakan di Sekolah Austria, 10 Orang Tewas dan Mengejutkan Warga

Polisi Tangkap Satpam Diduga Bakar Seorang Anak di Tangerang

Cegah Insiden Daejeon Terulang, Pemerintah Korea Selatan Usulkan Undang-Undang Haneul, Wajibkan Cuti bagi Pengajar dengan Gangguan Kesehatan Mental
