Ingin Menguasai Pasangan, Penyebab Umum KDRT


Bentuk KDRT tidak hanya kekerasan secara fisik, namun masih ada bentuk lainnya dan lebih kompleks. (Foto: Pexels/Pixabay)
KASUS dugaan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) selebriti Rizky Billar kepada Lesti Kejora, istrinya, naik ke tingkat penyidikan (8/10). Sebelumnya Rizky dilaporkan oleh Lesti ke Polres Jakarta Selatan atas dugaan kasus kekerasan pada 28 September 2022 pukul 01.51 WIB dini hari di rumah keduanya di Cilandak, Jakarta Selatan.
Kasus ini menyita perhatian warganet dan sempat menjadi trending di Twitter. KDRT dapat menimpa siapa saja, baik kepada suami, istri, maupun anak.
Dalam kasus KDRT kepada pasangan, Kasandra Putranto, psikolog dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa KDRT umumnya terjadi karena keinginan salah satu atau kedua pasangan untuk mendapatkan, mempertahankan kekuasaan, dan kendali atas suami atau istri.
"Kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keinginan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas pasangan. Orang yang melakukan kekerasan percaya bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol dan membatasi kehidupan pasangannya," kata Kasandra, seperti dikutip Antara, Selasa (11/10).
"Seringkali karena mereka percaya bahwa perasaan dan kebutuhan mereka sendiri harus menjadi prioritas dalam hubungan, atau karena mereka menikmati menggunakan kekuatan yang diberikan untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya," sambung Kasandra.
Baca juga:

Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPED, psikolog lulusan Universitas Indonesia, berpendapat serupa. Dia mengatakan, KDRT biasanya terjadi karena adanya rasa power dan control. Namun, faktor pencetus seseorang melakukan KDRT bisa bermacam-macam.
"Biasanya itu kan tentang power dan control. Jadi pencetusnya bisa macam-macam. Bisa karena ekonomi, bisa juga karena pengalaman. Dia pernah mengalami kekerasan waktu masih kecil. Jadi dia trauma dan itu jadi cycle ya. Dia malah melakukan hal yang sama. Atau bisa juga dia di rumah melihat waktu dia masih anak-anak," jelas Rosdiana.
Menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, dan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Laporan pengaduan ke kepolisian pada kasus KDRT cenderung meningkat setiap tahun. Ini menandakan bahwa korban mulai menyadari bahwa KDRT bukanlah sesuatu yang dapat dinormalisasi sehingga korban memiliki hak untuk memperjuangkan hak hidup aman dan lebih baik.
Pernikahan yang seharusnya menjadi sebuah ruang yang nyaman untuk sepasang manusia, justru menjadi ruang paling menakutkan bagi sebagian orang karena KDRT.
"Bentuk KDRT tidak hanya kekerasan secara fisik, namun masih ada bentuk lainnya dan lebih kompleks," terang Rosma Alimi dan Nunung Nurwati dalam "Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan" termuat di Jurnal Pengabdian dan Penelitian kepada Masyarakat Voume 2, Nomor 2, 2021
Rosdiana juga menerangkan bahwa kekerasan memiliki berbagai jenis dan tidak selalu menyangkut fisik. Jenis kekerasan antara lain fisik, emosi, verbal, atau kekerasan seksual.
Baca juga:

"Domestic violence itu jenisnya ada macam-macam. Bisa fisik, bisa emosi atau verbal, bisa sexual abuse juga walau di dalam rumah tangga, sama economic abuse," ujar Rosdiana.
Kasandra menambahkan, menurut Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak, perempuan yang berasal dari rumah tangga yang rendah tingkat kesejahteraannya cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan.
"Perempuan yang berasal dari rumah tangga pada kelompok 25 persen termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25 persen terkaya," papar Kasandra.
Selain karena ekonomi, faktor penyebab terjadinya KDRT adalah adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri, menganggap kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga, dan perasaan lelah psikis yang menimbulkan frustasi diri, kurangnya kemampun coping stress suami, dan kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum.
Rosdiana mengatakan bahwa pengulangan KDRT tergantung dari pelaku yang melakukannya. Apabila pelaku adalah seorang abuser, maka perilaku KDRT pun berisiko akan kembali terjadi.
Rosdiana mengatakan, tindakan tersebut tak akan selesai jika pelaku tidak melakukan terapi. Pasangan yang mengalami KDRT, baik pelaku atau korban, perlu mengunjungi ahli untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut.
"Bisa mengunjungi psikolog atau penasihat pernikahan. Tapi enggak bisa banyak nolong kalau pelakunya enggak ikutan juga. Karena yang suka salah dimengerti orang itu, karena pasangannya salah, terus itu jadi KDRT," beber Rosdiana. (dru)
Baca juga:
Ketika Pertunjukan Musik Klasik Digelar Virtual untuk Perangi KDRT
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres

Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya

Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui

Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental

Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan

Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja

Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja

Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja

Pelan Tapi Pasti Hempas Insecure, Ini 5 Cara Mudah Tingkatkan Kepercayaan Diri
