Mengendalikan Kemarahan di Masa Pandemi COVID-19


Petugas kepolisian memeriksa dokumen pemudik. (Foto: Humas Jabar)
PANDEMI COVID-19 mendorong seseorang menyiapkan sejumlah tindakan antisipatif. Salah satunya menerima adanya kebijakan pembatasan mobilitas. Jika tidak, aturan selama pandemi akan memicu perilaku marah seperti yang terekam dalam video sejumlah pemudik marah-marah saat disuruh putar balik polisi.
Menanggapi video yang viral di media sosial tersebut, psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr. Ahmad Gimmy Pratama, M.Si., mengatakan perilaku marah bisa diatasi dengan mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi. Dengan begitu, emosi yang keluar akan jauh lebih layak.
Jika emosi berlebihan telanjur keluar, seseorang perlu menyampaikan permintaan maaf. Namun, permintaan maaf tersebut perlu dibarengi dengan konsekuesi yang harus ditanggung. “Harus diperlihatkan bahwa tingkah laku tersebut adalah salah dan perlu menerima konsekuensinya,” kata Gimmy, Kamis (20/5).
Baca juga:
[HOAKS atau FAKTA]: Makan Pisang di Malam Hari Sebabkan Batuk
Kata Gimmy, seseorang perlu membiasakan diri untuk mampu mengungkapan emosi dengan cara yang pantas. Namun, hal ini tidak bisa secara instan. Butuh proses yang panjang dan komitmen tinggi untuk bisa mengelola emosi dengan baik.
Bahkan, Gimmy menganjurkan agar proses kelola emosi ini sudah dilatih sejak dini. “Biasakan untuk berpikir apakah marah ini benar atau tidak. Itu yang harus dilatih dan tidak bisa serta merta langsung pintar,” katanya.
Menurutnya, kemarahan diakibatkan oleh sejumlah faktor. “Dalam psikologi, marah itu adalah perilaku. Jadi, semua yang berkaitan dengan perilaku bisa dilihat latar belakangnya,” ungkapnya.

Kepala Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Unpad tersebut menjelaskan, perilaku marah seseorang dilatarbelakangi aspek personal dan lingkungan. Di aspek personal, marah dipengaruhi sistem psikofisiologis. Mulai dari tingkat ketahanan fisik hingga kemampuan berpikir, mengelola emosi, serta kemampuan individu dalam membaca nilai-nilai yang ada di sekitar.
Sementara aspek lingkungan, perilaku marah dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, cuaca, hingga reaksi lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya.
Jika dikaitkan dengan peristiwa pemudik yang marah-marah saat ditegur Polisi, Gimmy menjelaskan, hal tersebut diakibatkan oleh luapan emosi yang mengendap saat pemudik melakukan perjalanan.
Baca juga:
Kondisi lalu lintas yang macet ditambah fisik yang lelah dan cuaca panas akan membuat emosi seseorang mengendap. Sehingga ketika menghadapi hambatan selanjutnya, emosi yang mengendap tersebut akan bisa meledak.
“(Pemudik) mengalami frustasi. Adanya kebijakan penghambat akhirnya frustasi menimbulkan agresi dan menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan,” papar Gimmy.
Meski demikian, marah juga dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengendalikan dirinya. Karena itu, tidak semua orang akan langsung marah saat menemui kondisi serupa. Selama aspek rasionalnya masih ada, kemampuan orang dalam mengendalikan emosinya akan lebih baik.
Hukuman Sosial

Gimmy menyayangkan, tindakan pemudik marah yang viral tersebut hanya berakhir dengan permintaan maaf. Hal ini tidak membuat seseorang menjadi lebih matang dan jera. “Sebetulnya perlu dikendalikan dan diberi punishment (hukuman),” kata Gimmy.
Ia menjelaskan, sanksi yang diberikan tidak perlu dilakukan hukuman kurungan penjara. Namun, sebaiknya diberi sanksi sosial. Polisi sebaiknya melakukan pendekatan restorative justice atau pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan atau keseimbangan bagi pelakunya.
“Jangan hanya minta maaf lalu selesai. Harusnya ada hukuman sosial, seperti bersih-bersih kantor polisi atau kerja sosial lainnya. Biar orang melihat bahwa pelaku tersebut dihukum,” ujarnya.
Efek jera harus diberikan kepada pelaku. Ini disebabkan, reaksi marah berlebihan akan berdampak buruk. Salah satunya jika reaksi tersebut dilihat langsung oleh anak kecil.
Dosen yang memiliki keahlian di bidang psikoterapi dan psikologi positif ini menjelaskan, anak yang melihat langsung bagaimana orang tua ataupun orang dewasa mengeluarkan reaksi marah berlebih akan diikuti ketika ia dewasa.
“Kalau anak kecil melihat reaksi-reaksi tersebut, maka nanti dia akan berpikir bahwa kalau kesal boleh demikian. Itu yang mengkhawatirkan,” tuturnya. (Imanha/Jawa Barat)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
Jangan Dipendam! Layanan Konsultasi Kesehatan Mental Gratis dan Rahasia Tersedia Nonstop di Jakarta, Bisa Kontak ke Nomor Ini

Kesedihan Seringkali Berujung pada Impulsive Buying, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Alasan Psikologis Seseorang Jadi Fomo, Kenali Tanda-tandanya

Sering Berbicara Sarkas Berarti Punya Kecerdasan Tinggi? Simak Penjelasannya

Waspada, Ini 5 Tanda Pasangan Kamu Punya Sifat Patriarki

5 Manfaat Mengapresiasi Anak, Bekal Mereka Hadapi Kerasnya Hidup

Mengapa Validasi Sosial Itu Penting? Ini Alasannya

Apa Itu Validasi? Ketahui Tanda Seseorang Gila Validasi

Kiat Hadapi Konflik Orang Tua-Anak Menurut Psikolog

Apa Itu Introvert: Memahami Secara Psikologis, Ciri-ciri, Sifat, dan Fakta Menariknya
