Kesedihan Seringkali Berujung pada Impulsive Buying, Ini Penjelasan Ilmiahnya


Terlalu sering berbelanja online membuat invdividu mengejar keinginan daripada kebutuhan. Sumber: Pixabay/HutchRock.
Merahputih.com - Kebiasaan checkout atau belanja setiap orang berbeda-beda. Namun kondisi psikis yang dirundung sedih bisa meningkatkan kebiasaan perilaku belanja impulsif. Ternyata, ada penjelasan ilmiah akan fenomena tersebut, lo.
Impulsif merupakan tindakan yang tidak mempertimbangkan konsekuensinya di awal. Perilaku ini sangat negatif sebab biasanya menimbulkan kerugian.
Kondisi psikis seseorang bisa mempengaruhi derajat impulsif pada diri seseorang. Misalnya seseorang yang bersedih, ia melampiaskan impulsivitasnya dengan berbelanja. Sehingga jadilah orang itu sosok impulsive buying.
Menurut laman Verywellmind, pelaku impulsive buying menggunakan belanja sebagai cara untuk melarikan diri dari perasaan negatif seperti depresi, kecemasan, kebosanan, kemarahan, serta pikiran kritis terhadap diri sendiri. Sayangnya, pelarian ini tidak berlangsung lama.
Hal tersebut terjadi karena seseorang yang bersedih hanya mencari sensasi kesenangan dari aktivitas kesibukannya, bukan soal barangnya.
Baca juga:
Hal ini senada dengan yang diberitakan laman clevelandclinic. Psikolog Susan Albers mengatakan, ketika seseorang membeli sesuatu, neurotransmitter dopamin dilepaskan ke otak, efeknya menimbulkan perasaan baik. Makanya orang bersedih menemukan kesenangannya dengan belanja yang tak terhingga jumlahnya.
Setelah eskalasi kepuasan datang, setelahnya pembeli mengalami kekecewaan, rasa bersalah, penyesalan, kemarahan, atau malu. Artinya, jika seseorang tidak beranjak dari kondisi ini, ia akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama.
Ada beberapa cara untuk perlahan berhenti dari kebiasaan impulsive buying:
Berhenti dan merenung
Ketika proses impulsif terjadi, orang mengumpulkan barang-barang untuk dibeli, sehingga pikiran tidak punya banyak waktu merenungi manfaat jangka panjang dari barang tersebut
Berhentilah sejenak, dan mulai merenungkan fungsi serta manfaat yang didapatkan dari barang yang hendak dibeli itu.
Baca juga:
Gunakan skala prioritas
Mengukur skala prioritas bisa dilakukan meninjau barang mana yang memang sangat genting untuk dimiliki. Dengan mengetahui prioritas, maka kamu bisa mengontrol diri untuk membeli barang-barang sesuai kebutuhan saja, dan menunda barang kurang prioritas untuk pembelian-pembelian berikutnya.
Batasi transaksi online dan kartu kredit
Kemudahan berbelanja mendorong tidak adanya kontrol. Salah satu cara menghindari potensi boncos dan candu berbelanja, adalah membatasi transaksi online.
Gunakan satu marketplace
Makin banyak aplikasi marketplace, makin besar pula potensi impulsif buying. Apalagi paparan promosi bisa bikin kamu mudah tergiur dan akhirnya berbelanja banyak. (Tka)
Bagikan
Tika Ayu
Berita Terkait
Self-Care Menjadi Ruang Ekspresi dan Refleksi bagi Perempuan, Penting untuk Jaga Kesehatan Mental

The Everyday Escape, 15 Menit Bergerak untuk Tingkatkan Suasana Hati

Smart Posyandu Difokuskan untuk Kesehatan Jiwa Ibu setelah Melahirkan

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres

Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya

Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui

Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental

Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan

Jangan Dipendam! Layanan Konsultasi Kesehatan Mental Gratis dan Rahasia Tersedia Nonstop di Jakarta, Bisa Kontak ke Nomor Ini
