Legislator Sebut Kasus Pelecehan oleh Aparat di NTT Merupakan Bentuk Kegagalan Paling Telanjang dari Sistem Hukum

Ilustrasi pelecehan seksual.
Merahputih.com - Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, menyoroti serius kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota Polri berinisial Aipda PS terhadap seorang perempuan korban pemerkosaan. Korban, MML, mengalami pelecehan saat melapor ke Polsek Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya, NTT.
"Kasus ini merupakan bentuk kegagalan paling telanjang dari sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat. Seharusnya kantor polisi menjadi tempat paling aman bagi rakyat, tapi ini malah sebaliknya,” kata Sudding dalam keterangannya, Rabu (11/6).
Kasus bermula ketika MML melaporkan pemerkosaan yang dialaminya pada 2 Maret 2025. Saat pemeriksaan oleh Aipda PS, MML justru diduga mengalami kekerasan seksual kembali. Ironisnya, kasus pemerkosaan awal yang menimpa MML di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan alasan suka sama suka, meskipun MML mengaku diancam dengan parang.
Baca juga:
Mantan Kapolres Ngada Diserahkan Mabes Polri ke Polda NTT, Habis Idul Adha Diambil ke Jaksa
Setelah kejadian tersebut, Aipda PS meminta MML untuk merahasiakannya. Namun, MML memberanikan diri untuk mengunggah ceritanya di media sosial, yang kemudian menarik perhatian publik dan memicu reaksi keras.
Sudding menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan kejahatan pidana yang mencoreng institusi Polri. Menurutnya, insiden ini juga mengindikasikan kegagalan sistemik dalam pembinaan personel, pengawasan internal, dan kultur kekuasaan di tubuh aparat penegak hukum.
Aipda PS, yang menjabat sebagai Kanit Provos Polsek Wewewa Selatan, telah dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus) sejak 7 Juni 2025. Sudding mendesak agar proses hukum terhadap Aipda PS dilakukan secara transparan dan berkeadilan di pengadilan umum, bukan hanya melalui sidang etik.
Komisi III DPR RI berencana meminta penjelasan dari Polri mengenai penanganan kasus ini dan mengevaluasi mekanisme pengawasan terhadap perilaku anggota, terutama dalam kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.
Sudding menyerukan agar Polri membersihkan institusinya dari "mental predator berseragam" dan mengakui bahwa kasus semacam ini menunjukkan adanya masalah dalam sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan aparat.
Baca juga:
Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Jauh dari Ideal
Kasus ini juga menyoroti bahwa perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia masih jauh dari ideal. Sudding mendesak audit menyeluruh terhadap mekanisme pelaporan kekerasan seksual di kepolisian, termasuk keharusan hadirnya petugas perempuan, pemisahan ruang pemeriksaan, dan pendampingan psikologis bagi korban.
"Ketika korban lebih percaya media sosial daripada sistem hukum, maka jelas negara sedang kehilangan kredibilitasnya. Kasus ini harus menjadi titik balik. Negara harus hadir, bukan hanya dengan pidato, tapi dengan keadilan nyata dan sanksi tegas terhadap pelaku," pungkasnya.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Langkah Langkah Polisi dan TNI Bereskan Situasi Setelah Demo di Berbagai Daerah Rusuh

Gaji DPR RI 2025 Usai Pemangkasan: Berapa Take Home Pay-nya Sekarang?

Polisi Tetapkan 42 Tersangka Demo Rusuh di Surabaya, Hampir Setengahnya Anak-Anak

Aktivis Sebut Penonaktifan 5 Anggota DPR RI Bodohi Rakyat, Gaji Tetap Diterima

DPR Soroti Ketergantungan Impor Minyak dan Pangan, Pemerintah Diminta Segera Panggil Produsen untuk Pastikan Komitmen Ketersediaan dan Harga yang Terjangkau

Legislator Tekankan Tiga Prioritas Utama dalam Pendidikan Nasional: Kesejahteraan Guru, Akses Merata, dan Sarana Prasarana Memadai

Puan Maharani Kumpulkan Pimpinan Fraksi Partai, Bahas Transformasi DPR

DPR Dorong Pemerintah Libatkan Peternak Kecil dalam Program Sapi Merah Putih

RUU Perampasan Aset Masih Usulan Pemerintah, DPR Pertimbangkan untuk Ambil Alih

DPR Buka Peluang Ambil Alih Inisiatif RUU Perampasan Aset dari Pemerintah
