Kisah Para Mukimin Nusantara Awal Menjelajah Mekkah

Gambar Kakbah pada masa lampau. (IslamicityO
DALAM khazanah islam, bangunan Kakbah di kota Mekkah merupakan poros alam. Sementara, bagi masyarakat Nusantara konsep ini mewujud pada berbagai hal seperti pengiriman utusan ke Mekkah; belajar agama di Mekkah; kehadiran ulama Arab ke nusantara; konsultasi ke Mekkah utamanya menyoal akidah. Khusus bagi warga nusantara lama tinggal di Mekkah atau Madinah disebutnya Mukimin Jawi.
Ensiklopedia Islam, menyebut mukimin Jawi tak hanya merujuk pada warga Nusantara semata tetapi para pemukim muslim dari daerah Asia Tenggara. Mukimin Jawi secara umum berasal dari wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Brunei, dan Mindanau.
Mereka merupakan orang Islam menetap pada kurun waktu lama di Makkah dan Madinah serta telah berbaur dan memiliki aktivitas ekonomi bersama penduduk lokal.
Hal senada disampaikan oleh Snouck Hurgronje, peneliti Islam dari Belanda, bahwa para mukimin atau moekiemers berasal dari Jawa disebut Jawah atau Jawi oleh penduduk setempat, dengan bentuk jamak Jawwiyin. Lingkungan geografisnya, tulis M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, tersebar mulai dari Siam hingga ke New Guinea.
Pada awal abad 17, terdapat mukimin menjadi ulama tersohor di Mekkah, mereka adalah Abdurrauf al-Sinkili dan Syekh Yusuf al-Makasari. Abdurrauf al-Sinkili seorang ulama Aceh berguru untuk mempelajari Islam kepada Ibrahim al Kurani dari Madinah. Abdurrauf pernah menanyakan mengenai doktrin wahdat al-wujud kepada gurunya, dan sebagai jawaban, sang guru menulis sebuah kitab bertajuk Ithaf al Dhaki.
Ulama sohor menjadi mukimin lainnya, Syekh Yusuf al-Makasari alias syekh Yusuf Taj al-Khalwati, alias Tuanta Salamaka atau “Guru kami yang agung”. Dia masih kalangan keluarga bangsawan Makassar. Pada 20 Oktober 1644, Syekh Yusuf berangkat ke Mekkah. Perjalanannya menuju tanah Arab memakan waktu 56 hari. Dia menghabiskan masa 20 tahun di Arab untuk memperdalam agama Islam.
Yusuf al-Makassari belajar dari berbagai guru, salah satunya Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al Dimashqi, dari Damas, Suriah sekarang. Di situ Syekh Yusuf lantas mendapat gelar al-Taj al Khalwati atau mahkota tarekat Khalwatiyah.
Selama dua dekade di Arab, seperti ditulis Henry Chambert Loir, Naik Haji di Masa Silam; Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964, Syekh Yusuf mendapat baiat dari lima tarekat dan mempelajari sepuluh tarekat lain. Tidak diketahui persis kapan Syekh Yusuf pulang ke Nusantara, beberapa ahli menyebut kepulangannya ke Nusantara terjadi pada 1664; 1667; 1670 atau 1672.
Satu abad setelah dua ulama tersebut, terdapat pula empat sekawan; Muhammad Arsyad al-Banjari; Abdul Wahab al-Bugisi; Abdurrahman al-Misri dan Abdussamad al-Palimbani, bermukim di Mekkah. (*) Achmad Sentot
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
KPK Mulai Sasar Masalah Katering di Kasus Dugaan Korupsi Haji

Menteri Haji dan Umrah Datangi KPK Bahas Pencegahan Korupsi Penyelenggaraan Haji

BPIH 2026 Diharap Bisa Diputus Bulan Depan, Penetapan Kuota Harus Merujuk Daftar Tunggu

Kuota Haji 2026 Tetap 221 Ribu, Menteri Irfan Ungkap Skema Baru Pembagian Berdasarkan Antrean Jemaah

Pakar Sebut Kewenangan Atribusi Menag tidak Melawan Hukum

KPK Temukan Praktik Jualan Beli Kuota Haji Antar Penyelenggara

Angin Segar untuk Calon Jamaah! Pemerintah Tengah Perjuangkan Haji Murah,

Mencegah Kesucian Ibadah Tercoreng, KPK Diminta Tuntaskan Skandal Korupsi Kuota Haji Secepatnya

Selain Kuota, KPK Usut Keberangkatan Haji Khusus Tanpa Antre

BPKH Dukung Penyidikan KPK Terkait dengan Kuota Haji 2024
