Ketika Para Waria Ikhlas Ingin Dekat dengan Tuhannya


Nota kesepahaman di Ponpes Al Fatah Yogyakarta dimana santrinya berasal dari kalangan waria (Foto: MP/Fredy Wansyah)
MerahPutih Nasional - Saat memasuki kawasan pondok, terasa sepi. Seorang laki-laki berparas perempuan tampak duduk di pelataran pintu belakang bangunan pondok. Namun, saat mengetahui ada orang yang masuk, ia sejenak menghentikan makan dan menerima pengunjung dengan sambutan "Silakan masuk. Motornya diparkir di dalam aja," katanya.
Untuk memasuki kawasan pondok, pengunjung harus melalui jalur belakang. Seperti menelusuri lorong-lorong rumah tradisional di zaman Belanda, selayaknya ornamen rumah dalam film Cut Nyak Dhien atau terbaru film Soekarno. Bangunannya tua. Sama seperti bangunan lainnya, dengan tetangga lainnya, di daerah Celenan. Di sini, Celenan, di Kota Gede, memang terkenal akan objek wisata heritagenya. Umumnya bangunan di sini masih bernuansa tradisional. Bahkan, sebelum memasuki kawasan pondok, pengunjung akan melihat rumah-rumah joglo khas Jawa, yang menjadi destinasi wisata heritage di Yogyakarta.
Beranda depan pondok tampak spanduk "Selamat datang di Pondok Pesantren Al Fatah". Tak berapa lama, pria berparas perempuan tadi menyatakan bahwa pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fatah segera keluar, karena masih berdandan.
Tak berapa lama, orang yang dimaksud, pemimpin Ponpes Al Fatah, keluar dan mempersilakan duduk bersama di beranda pondok. Sambil mengutarakan kedatangan maksud dan tujuan, ia sesekali merapikan jilbab. Mendengar maksud dan tujuan tersebut, wajahnya tampak kesal. "Kami sekarang terpojokkan. Berita-beritanya kayak gitu, justru memojokkan kami waria," katanya.
Shinta Ratri pimpinan Ponpes Al Fatah Yogyakarta yang memiliki santri waria (Foto: MP/Fredy Wasnyah)
Ia adalah Shinta Ratri, pemimpin Ponpes Al Fatah. Ponpes telah berdiri sejak 2008 lalu, dengan pemimpin pertama Maryani. Wajahnya kusut, menandakan usianya. Kusutnya wajah itu seakan menandakan pula kelompok yang ia emban selama ini. Sulit diterima oleh awam, seakan Shinta dan rekan-rekannya adalah momok yang harus disudutkan.
Dengan meyakinkan, setelah 10 menit duduk di beranda pondok yang dihiasi banyak buku-buku kajian Islam, akhirnya Shinta bersedia menceritakan semua tentang Ponpes Al Fatah. Ia berujar bahwa dengan ponpes kelompoknya ingin membentuk para santrinya menjadi pribadi waria yang bertanggung jawab terhadap agama, keluarga, dan negara.
"Tiga hal itu visi misi Pondok Al Fatah. Secara khusus, ada tiga pilar yang ingin kami tegakkan. Pertama, mendidik waria itu sendiri. Kami di sini ingin menjadi pribadi yang baik buat agama, keluarga, dan negara. Dengan uatamanya menjalankan syariat Islam. Kedua, mendidik masyarakat. Kami ingin masyarakat paham keberadaan kami. Bahwa kami waria juga ciptaan Allah. Ketiga, mendorong negara agar hak kami sama dengan warga yang lain," kata Shinta menjelaskan, Selasa (16/2).
Awalnya hanya satu dua santri. Di dua tahun pertama, waria yang menjadi santri bertambah jadi 20-an. Dari tahun ke tahun, meski keluar masuk, kini santri telah mencapai 46 orang. 4 di antara mereka menjadi santri tetap atau tinggal di pondok. Sementara yang lainnya tinggal di luar pondok. "Kalau ada kegiatan aja semuanya kumpul. Jadi hari-harinya di luar, tapi belajar agama di sini, kecuali yang 4," kata Shinta.
Sebelum memaparkan lebih jauh ihwal Al Fatah, Shinta mengutarakan pandangannya ihwal waria, yang menjadi pedoman bagi komunitasnya. "Menjadi waria, kami ini, sudah dari sejak kecil. Ini kehendak-Nya kan? Masa masa kecil kami sudah bisa berpikir ini itu. Mana bisa. Waria adalah jiwa perempuan yang terjebak di raga laki-laki. Karena itulah kami ingin masyarakat paham soal ini. Waria tidak bisa diubah. Sama halnya kayak laki-laki atau perempuan, coba kan gak mungkin diubah jadi waria," katanya.
Ilustrasi demo penolakan terhadap kelompok LGBT (Foto: AFP)
Kecuali santri, kegiatan ponpes ini sama halnya seperti ponpes umumnya. Ada kegiatan baca Alquran dengan tajwidnya, pengajian ilmiah dan tafsir Alquran, pelajaran tata cara beribadah serta syariatnya, dan tausiah dari ustad. Setiap santrinya dibina untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Karena itu, mereka tak melupakan ibadah. Meski waria, tata ibadah salat, misalnya, diserahkan ke masing-masing. Ada yang menggunakan mukena dan ada pula yang mengenakan sarung selayaknya makmum pria. Tergantung kenyamanan.
Mereka dibina tokoh agama KH Abdul Muhaimin. Selain itu, ada 6 ustaz yang sering bertausiah. "Salah satunya lagi Ustad Nur Safri. Ada 6 ustad yang rutin, setiap hari Minggu, kami dapat pelajaran agama dari ustad-ustad yang sifatnya teoritis," katanya.
Kehadiran pemuka agama menunjukkan adanya dukungan moril bagi Shinta dan rekan-rekannya. Bahkan, dukungan pun datang dari tokoh agama lainnya dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, dan dari daerah Jawa Timur. Selain itu, dukungan pun datanv dari lembaga CRCS UGM, Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), dan sejumlah LSM. "Kita juga dekat dengan kampus-kampus agama, kayak UIN Sunan Kalijaga, IAIN Cirebon, IAIN Surakarta. Malah ya, kami ada MoU sama UNISNU, kampus NU (Nahdlatul Ulama) di Jepara, dengan Fakultas Syariah dan Hukumnya," paparnya.
Shinta menyatakan, semua aktivitas Ponpes Al Fatah merupakan bentuk nyata keikhlasan santri untuk mencintai Allah. Semuanya dana segala aktivitas ponpes berasal dari sumbangan pribadi masing-masing santri. "Pernah kami, ponpes ini, sadar dapat imbalan dari Allah, mungkin karena keikhlasan. Kami berkurban, seadanya sekali waktu itu. beberapa hari kemudian, kami dapat sumbangan Rp2 juta, dari seorang ibu-ibu, untuk Ponpes ini," katanya.
Menurut Shinta, dasar keagamaan yang ditanam bagi semua santrinya ialah keikhlasan. Ikhlas menerima kenyataan, ikhlas mencinta Tuhan, dan ikhlas bersosial. "Selain agama pun kami berkegiatan sosial. Kita bakti sosial, sumbangan, dan ada juga pentas seni setiap tahun pas Hari Transgender Internasional," katanya penuh semangat.
Untuk itulah, menurut Shinta, keikhlsan penting di tengah-tengah kenyataan sosial yang acapkali menyudutkan jenis waria. Dia ingin hidup tenang dengan kewariaannya tanpa mengusik orang lain, begitu juga sebaliknya. "Kami pahami, setelah belajar dari Alquran, bahwa Allah tidak pernah menyebutkan dalam ayatnya 'Hai laki-laki beriman' atau 'Hai perempuan beriman'. Yang ada kan 'Hai orang-orang beriman', makanya kami yakin Allah juga menyayangi kami. Kami pun ingin hidup tenang dengan manusia ciptaan-Nya, dengan yang lainnya," katanya penuh harap.(fre)
BACA JUGA:
- Shinta Ratri, Jadi Waria Sejak SD hingga Pimpin Temannya Belajar Agama
- Pemimpin Ponpes Al Fatah: Isu LGBT Ingin Goyang Jokowi
- Tahun Monyet Api, LGBT Semakin Berani
- Ketua PBNU Kecam Maraknya LGBT dalam Masyarakat
- Ajaran Hindu Menentang LGBT
Bagikan
Berita Terkait
Pride Month 2025 Sepi dari Ingar-Bingar Perusahaan Besar, Khawatir Trump Makin Keras terhadap LGBTQ

Pesta Seks Sesama Jenis Berkedok Ulang Tahun di Setiabudi Digerebek, Jejak Trauma Kelam Pelaku Terungkap!

Kristen Stewart Akhirnya Menikahi Pasangan Sesama Jenisnya, Resepsi Digelar Sederhana di Restoran yang Asri

Imam Gay Muhsin Hendricks Dibunuh, Komnas HAM Afrika Selatan Kutuk Keras

Polisi Buka Profesi 56 Peserta Pesta Seks Gay di Hotel Jaksel, Ada Guru Hingga Dokter

53 Laki-Laki yang Diciduk Saat Pesta Gay di Jaksel Dilepas, Ini Alasan Polisi

RUU Kesetaraan Pernikahan Disahkan, Ratusan Pasangan Sesama Jenis di Thailand Gercep Gelar Akad Nikah Massal

Politikus Daerah Sumbar Rancang Perda Terkait LGBT

Thailand Jadi Negara Asia Tenggara Pertama yang Mengakui Pernikahan Sesama Jenis

Malaysia Larang Jam Pelangi, Pemakainya Bisa Dipenjara
