Kapolri Keluarkan Telegram untuk Deteksi Dini Penumpang Gelap saat Demo Buruh


Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono. ANTARA FOTO/ Reno Esnir/aww.
MerahPutih.com - Telegram Kapolri Jenderal Idham Azis soal demo saat pandemi COVID-19 menuai kritikan. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan surat telegram rahasia itu merupakan arahan Mabes Polri kepada kesatuan wilayah dalam menghadapi demo dan juga rencana aksi mogok kerja buruh pada tanggal 6-9 Oktober 2020.
Karena itu, ia mengatakan, tidak benar jika telegram rahasia Kapolri Jenderal Idham Azis tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan Polri.
Seluruh yang disampaikan dalam TR tersebut merupakan arahan agar pemangku kepentingan di wilayah tidak ada ragu-ragu dalam mengambil tindakan di lapangan, mulai dari preventif atau pencegahan, deteksi dini atau cegah dini.
Baca Juga
Ingin Masuk Gedung DPR/MPR, Belasan Orang dari Kelompok 'Anti Kemapanan' Diciduk Polisi
"Ini agar tidak terjadi anarkis dan belajar dari pengalaman sebelumnya," kata Awi dalam konferensi pers di kompleks Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).
Awi mengatakan, Polda tetap diperintahkan untuk membuat rencana pengamanan jika terjadi demo. Aksi unjuk rasa yang dilakukan para buruh atau pekerja untuk menyikapi atau sebagai penolakan atas pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang menuai penolakan dari berbagai kalangan.
"Walaupun dalam surat tersebut tertulis tidak menerbitkan STTP, hanya saja pada tupoksinya Polri tetap akan melaksanakan pelayanan, perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, penegakan hukum merupakan hal yang terakhir dilakukan," kata Awi.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengkritik Kepolisian Republik Indonesia yang meredam dan melarang aksi unjuk rasa dan mogok nasional menolak Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja. Hal itu tertuang dalam telegram Kepala Polri tertanggal 2 Oktober 2020.
"Kami mengingatkan Kapolri bahwa dalam UUD 1945 dan amandemennya Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah “alat negara” dan bukan alat pemerintah," kata Ketua YLBHI Asfinawati.
Dalam telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, Kapolri menginstruksikan beberapa hal untuk jajarannya terkait rencana aksi unjuk rasa dan mogok nasional kelompok buruh dan masyarakat sipil lainnya menolak RUU Cipta Kerja.
Beberapa instruksi di antaranya melaksanakan giat fungsi intelijen dan deteksi dini; mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19; patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi.
Kemudian, kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah; secara tegas tak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya; melakukan upaya di hulu atau titik awal sebelum berkumpulnya massa; dan penegakan hukum menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Asfinawati mengatakan tak pernah ada perlakuan seperti ini terhadap aksi-aksi dengan tema lain sebelumnya. Ia menyebut sulit dibantah telegram ini muncul karena RUU Cipta Kerja adalah inisiatif pemerintah. Presiden Joko Widodo pun sejak awal menginginkan RUU ini rampung dalam 100 hari.
"Kami mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta independensi yang seharusnya diterapkan Polri," kata Asfinawati.
Asfinawati mengatakan Presiden dan Kapolri mesti menghormati Undang-undang Dasar 1945 dan amandemennya serta Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk pendapat di muka umum.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur mengatakan Polri tak memiliki hak mencegah aksi unjuk rasa. Sebaliknya kata dia, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadpa pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Isnur juga menilai Polri diskriminatif jika menyasar peserta aksi dengan alasan pandemi COVID-19. Padahal sebelumnya banyak keramaian yang bahkan tak menaati protokol kesehatan seperti di perusahaan, pusat perbelanjaan, hingga bandara.
"Sebelumnya dua aksi tolak omnibus law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan klaster baru COVID-19," kata Isnur.
Isnur juga menilai Polri menyalahgunakan wewenang jika melakukan kontra-narasi isu-isu yang dianggap mendiskreditkan pemerintah. Menurut dia, kata mendiskreditkan adalah tafsiran yang subyektif dan berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah.
Baca Juga
Selanjutnya, YLBHI mempertanyakan alasan UU Kekarantinaan Kesehatan untuk melakukan penegakan hukum terhadap peserta aksi. Isnur mengatakan, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan baru berlaku saat terjadi akibat dan tidak mungkin diketahui pada saat aksi atau sebelum aksi.
"Berbagai laporan menunjukkan klaster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/pegawai tetap bekerja," kata Isnur. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Ditanya Andil Riza Chalid di Balik Demo Ricuh, Kapolri: Akan Kita Cari Tahu

Kapolri Beri Sinyal, Otak Pelaku yang Menggerakkan dan Membiayai Demo Rusuh Segera Terungkap

Kapolri Pastikan 7 Anggota Brimob Tewaskan Affan Kurniawan Bakal Hadapi Sidang Pidana

Panglima TNI Ingatkan Warga Tidak Terprovokasi, Kedepankan Musyawarah dan Jalur Hukum

Didesak Mundur, Kapolri Serahkan Keputusan ke Presiden Prabowo

Presiden Prabowo Perintahkan Polisi dan TNI Tindak Tegas Perusuh Saat Demo Berlangsung

Tak Hanya Tindak Pelaku, Polisi Harus Jelaskan Secara Utuh Rantis Brimob Tabrak Pengemudi Ojol Hingga Tewas

Mengejutkan, Ada 'Oknum Aparat' di Balik Kasus Penculikan dan Pembunuhan Kepala Cabang BRI

Polri Turun Tangan Urus Ketahanan Pangan, Aparat Hadir di Lapangan untuk Beri Jaminan Keamanan untuk Petani dan Pengusaha.

Daftar Pejabat Utama dan Kapolda Yang Dilantik Kapolri Hari Ini, Bertabur Bintang 3 dan 2
