Harga Tidak Menentukan Kualitas Obat


Kualitas obat tak sebanding lurus dengan harganya. (Foto: Unsplash/Christine Sandu)
HARGA tidak memengaruhi kualitas obat yang beredar di pasaran. Obat dengan harga murah, bukan berarti tidak memiliki khasiat optimal untuk menyembuhkan penyakit.
Sebuah studi terbaru dari Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds) menemukan bahwa produk obat yang harganya 10 kali lipat lebih mahal nyatanya memiliki kualitas sama dengan produk sejenis berharga lebih rendah. Hal tersebut dibuktikan melalui 1.274 sampel obat yang diteliti bersama Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam.
Baca Juga:
Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes, Co-Principal Investigator of STARmeds mengatakan latar belakang penelitian ini datang dari pertanyaan publik yang ingin mengetahui apakah obat murah, bahkan gratis memang berkualitas. "Kami tertarik untuk untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya," ujar Yusi saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Studi ini menggunakan sampel dari lima jenis obat, termasuk antibiotik (amoksisilin & cefixime), obat asam urat (allopurinol), obat untuk tekanan darah tinggi (amlodipine), dan steroid (dexamethasone). Sampel tersebut berasal dari rumah sakit, apotek, dan platform e-commerce di wilayah Jabodetabek, serta di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur, termasuk Medan/Labuhan Batu; Surabaya/Kabupaten Malang; dan Kupang/Timor Tengah Selatan.
Hasilnya, hampir sepertiga obat sampel yang dibeli harganya lebih dari 10 kali harga produk setara termurah, dan 10 persen sampel obat dengan harga tertinggi dihargai lebih dari 30 kali lipat harga terendah. Padahal, kualitas obat-obat ini sama.
Baca Juga:
Selain itu, pengujian kualitas pada antibiotik memiliki tingkat kegagalan tinggi dibandingkan obat-obatan lain. Prevalensi gagal pengujian dalam laboratorium yang telah disesuaikan dengan volume pasar untuk antibiotik adalah 6,8 persen atau dua kali lipat lebih dari 3,1 persen yang diperkirakan untuk non-antibiotik.

“Ini mengkhawatirkan, jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien, mereka mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten.”
Tak hanya itu, penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar obat palsu yang terkonfirmasi (15 dari 21 obat) dibeli dari penjual tidak resmi di online marketplace.
Penelitian STARmeds ini mendukung kegiatan rutin sampling obat yang dilakukan oleh BPOM sebagai bagian pengawasan obat di pasar. STARmeds juga merekomendasikan adanya sistem data informasi obat yang saling terkoneksi antara lembaga pemerintah terkait. (ikh)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga

Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak

Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas

Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan

Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
