Golkar Nilai Putusan MK soal Pemilu Bisa Jadi Bumerang dan Guncang Dunia Politik Indonesia
Ilustrasi TPS. (Foto: MP)
Merahputih.com - Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Adies Kadir, menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu nasional dan daerah telah mengguncang dunia hukum dan politik.
Menurut Adies, putusan ini, meski sekilas terlihat sebagai solusi sistemis, sebetulnya menyebabkan dampak besar dan menjadi catatan kritis karena tidak hanya mengoreksi hukum tetapi juga mengguncang keseluruhan sistem ketatanegaraan.
“Mari kita cermati sebagai sebuah catatan kritis karena sejatinya putusan ini bukan hanya sebagai koreksi hukum, melainkan memiliki daya guncang terhadap keseluruhan sistem ketatanegaraan kita,” kata Adies, Kamis (24/7).
Baca juga:
KPU Susun Materi Revisi Undang-Undang Pemilu Untuk Dibahas Dengan DPR RI
Adies menyoroti bahwa putusan MK tersebut tidak selaras dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan keserentakan pemilihan anggota DPRD, DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden setiap lima tahun sekali.
Namun, putusan terbaru ini menggabungkan pemilihan anggota DPRD dengan kepala/wakil kepala daerah, yang pelaksanaannya akan berlangsung dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Lebih lanjut, Adies menyebut Putusan MK Nomor 135 ini inkonsisten dengan putusan-putusan MK sebelumnya. Ia merujuk pada Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memutuskan keserentakan pilpres dan pileg, serta Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menawarkan enam opsi keserentakan pemilu. Inkonsistensi ini, menurut Adies, berpotensi menghilangkan kepastian hukum jika penafsiran konstitusi dapat berubah drastis dalam waktu singkat.
Ia juga menegaskan bahwa jadwal keserentakan pemilu seharusnya menjadi open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, bukan MK.
Baca juga:
Politisi PDIP Kritik Putusan MK Pisahkan Pemilu: Embrio Negara Feodal Mulai Muncul
Adies berpendapat bahwa MK seharusnya berfungsi sebagai negative legislature, yaitu hanya menilai konstitusionalitas suatu undang-undang, bukan membentuk norma baru atau melampaui fungsi yudikatifnya.
Adies khawatir pemisahan Pemilu nasional dan daerah ini akan membuka ruang politisasi birokrasi dan mengancam prinsip desentralisasi serta otonomi daerah.
“Kita bisa bayangkan kalau presiden terpilih, kemudian pemilihan kepala daerah dua setengah tahun kemudian. Apa jadinya pembangunan di kabupaten/kota kalau hanya mendapatkan waktu dua tahun mereka hanya baru menyosialisasikan program, kemudian setengah tahun melaksanakan?,” kata Adies.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Masih Aman, Pakar Hukum Tata Negara Sebut Anggota Polisi yang Duduki Jabatan Sipil tak Perlu Ditarik
Buntut Perkap Soal Polisi Isi Jabatan Sipil, Pengamat Desak Prabowo Ganti Kapolri
Perkap Polri 10/2025 Dikritik Mahfud MD, Dinilai Langgar Putusan MK
Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya Terjaring OTT KPK, Golkar Hormati Proses Hukum
MK Tolak Gugatan Rakyat Bisa Pecat DPR, Pilihannya Jangan Dipilih Lagi di Pemilu
MK Tolak Rakyat Berhentikan Anggota DPR yang Nyeleneh, PAW Tetap Jadi Monopoli Partai Politik
HGU 190 Tahun Dibatalkan, Basuki Hadimuljono Tegaskan Putusan MK tak Ganggu Kepastian Investasi di IKN
Iwakum Nilai Kesaksian Pemerintah Justru Ungkap Kelemahan Pasal 8 UU Pers
MK Batalkan HGU 190 Tahun, Nusron Wahid: Kita Ikuti Keputusan Hukum
Masa HGU di IKN Dipangkas, Komisi II DPR Dorong Kajian Regulasi Tanpa Ganggu Investasi