DPR Minta Pemerintah Jangan Tutupi Sejarah! Desak Pengakuan Tragedi Kekerasan Seksual 1998
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian (DPR RI)
Merahputih.com - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, mengkritik keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya perkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998.
Lalu menegaskan bahwa penyangkalan ini berpotensi melukai perasaan korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
"Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah," ujar Lalu Hadrian dalam rilisnya pada Selasa (17/6).
Sebelumnya, dalam sebuah wawancara, Fadli Zon mengklaim bahwa tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam peristiwa 1998.
Baca juga:
Sebut Fadli Zon Lukai Hati Korban, Pdt Lorens Minta Perkosaan 98 Meskipun Sejarah Pahit Harus Diakui
Ia bahkan menyebut informasi tersebut hanya rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.
Fadli juga menyatakan bahwa pemerintah akan merevisi sejarah Indonesia dengan "nuansa positif" demi menghindari perpecahan dan mempererat persatuan bangsa, yang mana pernyataan ini menuai kontroversi luas.
Menanggapi hal ini, Lalu Hadrian menekankan bahwa Tragedi 1998 adalah bagian kelam dari sejarah bangsa yang meninggalkan luka mendalam, terutama bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Menurutnya, mengingkari peristiwa tersebut sama dengan menghapus jejak sejarah Indonesia.
"Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan," tegas Lalu.
Ia menambahkan, menyangkal fakta kekerasan seksual dalam insiden 1998 sama dengan merendahkan martabat para korban dan menghambat proses pemulihan serta rekonsiliasi yang seharusnya terus berjalan.
"Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka," ujarnya.
Baca juga:
Bantah Fadli Zon, Komnas HAM Ungkap Bukti Kekerasan Seksual saat Peristiwa Mei 98
Lalu Hadrian juga mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan.
Sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif, bukan untuk menyenangkan penguasa.
"Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis," pungkas Lalu.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
DPR Sentil Kemenhut Soal Loyonya Penegakan Hukum Kehutanan, Taubat Ekologi Bisa Jadi Solusi
Pemerintah Didesak Bentuk BRR Ad Hoc untuk Pemulihan Cepat Pasca Bencana Sumatera
DPR Serukan 'Taubat Ekologi' ke Menhut Raja Juli Sebagai Refleksi Kerusakan Lingkungan
Kasasi MA Kabulkan Tuntutan Awal JPU, Vonis Predator Seks Agus Buntung Jadi 12 Tahun Bui
DPR Minta Bapeten Berada Langsung di Bawah KLH untuk Perkuat Pengawasan Bahan Radioaktif
Pemulihan Infrastruktur Dasar Jadi Penentu Keselamatan Warga Terdampak Bencana Sumatra
Dana 'On Call' Rp 4 Triliun untuk Bencana di Sumatra Sudah Menanti, DPR Desak Pemerintah Gunakan Anggaran Darurat
Gas Elpiji Langka Hingga Dapur Umum Bencana 'Mati Suri' di Aceh, Pertamina Diminta 'Gercep' Lewat Udara
Dokumen Hilang Saat Bencana Aceh-Sumut, Imigrasi Diminta Bebaskan Syarat dan Biaya Penerbitan Kembali Paspor
Setop Narasi Cuaca Ekstrem! DPR Tegaskan Bencana di Sumatera Buntut Kasus Perusakan Hutan Massif