DKPP Berhentikan Arief Budiman dari Jabatan Ketua KPU RI

Zulfikar SyZulfikar Sy - Rabu, 13 Januari 2021
DKPP Berhentikan Arief Budiman dari Jabatan Ketua KPU RI

Sidang pembacaan putusan DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPU Arief Budiman. (Foto: MP/Istimewa)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MerahPutih.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua kepada Arief Budiman selaku Ketua KPU RI dalam perkara 123-PKE-DKPP/X/2020.

Sanksi dibacakan oleh ketua dan anggota majelis DKPP dalam sidang pembacaan putusan sebanyak 17 perkara di ruang sidang DKPP, Rabu (13/1), pukul 09.30 WIB. Arief Budiman terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.

“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua KPU RI kepada Teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU RI sejak putusan ini dibacakan,” kata ketua majelis Muhammad.

Baca Juga:

DKPP: Ada Penyelenggara Pemilu Ahli Manipulasi Perolehan Suara

Majelis DKPP mengungkapkan, Arief Budiman diadukan ke DKPP karena mendampingi dan menemani Evi Novida Ginting Manik yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.

Dalam persidangan, Arief Budiman berdalih kehadiran dirinya di PTUN Jakarta untuk memberikan dukungan moril, simpati, dan empati didasarkan pada rasa kemanusiaan. Kehadiran Teradu dalam kapasitasnya sebagai individu, bukan mewakili lembaga. Di saat yang bersamaan, Teradu berstatus work from home (WFH).

Anggota majelis Didik Supriyanto saat membacakan pertimbangan menjelaskan bahwa DKPP sangat memahami ikatan emosional Teradu dengan Evi Novida Ginting Manik yang merinti karier sebagai penyelenggara pemilu dari bawah hingga menjadi komisioner di KPU RI untuk periode 2017-2022.

Namun, ikatan emosional sepatutnya tidak menutup atau mematikan sense of ethic dalam melakoni aktivitas individual yang bersifat pribadi. Hal itu karena dalam diri Teradu merangkap jabatan ketua merangkap anggota KPU yang tidak memiliki ikatan emosional dengan siapa pun kecuali dalam ketentuan hukum dan etika jabatan sebagai penyelenggara pemilu.

“Seharusnya Teradu dapat menempatkan diri pada waktu dan tempat yang tepat di ruang publik dan tidak terjebak dalam tindakan yang bersifat personal dan emosional yang menyeret lembaga dan berimplikasi pada kesan pembangkangan dan tidak menghormati putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” ujar Didik.

Sidang pembacaan putusan DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPU Arief Budiman. (Foto: MP/Istimewa)
Sidang pembacaan putusan DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPU Arief Budiman. (Foto: MP/Istimewa)

Selain itu, kehadiran Teradu di ruang publik mendampingi Evi Novida Ginting Manik dalam memperjuangkan hak-haknya membuat KPU RI terkesan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP.

Sikap dan tindakan Teradu menunjukkan tidak adanya penghormatan terhadap tugas dan wewenang antarinstitusi penyelenggara pemilu. Didik menambahkan, Teradu menunjukkan tindakan penyalahgunaan wewenang secara tidak langsung karena jabatan senantiasa melekat pada setiap perbuatan Teradu di ruang publik.

“Teradu melanggar pasal 14 huruf c jo pasal 15 huruf a dan d jo pasal 19 huruf c dan e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” tegas Didik.

Teradu juga tanpa dasar hukum meminta Evi Novida Ginting Manik kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU RI melalui Surat Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020. Surat yang dikeluarkan Teradu mengacu pada Surat Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor B.210.

Kementerian Sekretariat Negara meminta Teradu menyampaikan petikan Keputusan Presiden (No 83/P Tahun 2020) yang mencabut putusan sebelumnya (No 34/P Tahun 2020) untuk disampaikan kepada Evi Novida Ginting Manik. Dalam surat tersebut tidak ada frase atau ketentuan yang memerintahkan Teradu mengangkat dan mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai Anggota KPU RI.

“Tindakan Teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum baik kategori mencampuradukkan kewenangan di luar materi kewenangan,” sambung Didik.

Baca Juga:

DKPP Minta Media Tangsel Beritakan Kecurangan Saat Masa Tenang Pilkada

Anggota DKPP Ida Budhiati menambahkan, Teradu sama sekali tidak memiliki dasar hukum maupun etik memerintahkan Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai anggota KPU RI menurut hukum dan etika Evi Novida Ginting tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu setelah diberhentikan berdasarkan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.

Bahwa, pengaktifan kembali menurut Teradu dibuat atas dasar keputusan bersama secara collective collegial. Tetapi, pernyataan tersebut tidak didukung dengan alat bukti yang cukup berupa dokumen berita acara rapat pleno atau alat bukti lainnya, sehingga keputusan tersebut menurut DKPP merupakan tindakan sepihak Teradu tanpa melibatkan atau sepengetahuan anggota lainnya.

“Berdasarkan hal tersebut Teradu telah terbukti melanggar pasal 11 huruf a dan huruf b juncto pasal 15 huruf a, huruf c, huruf d dan huruf f juncto pasal 19 huruf c, huruf e dan huruf d, Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggaran Pemilu,” ujar Ida.

Dalam perkara ini, anggota Majelis DKPP memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Pranomo Ubaid Tanthowi. Ditegaskannya, bahwa Teradu membubuhkan tanda tangan dalam surat 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU RI bukan atas nama pribadi.

Pramono juga menilai tindakan Teradu Arif Budiman membubuhkan tanda tangan pada surat 663 tidak termasuk pelanggaran berat yang menciderai integritas proses atau integritas hasil-hasil pemilu atau pilkada. Teradu tidak memiliki niat jahat untuk memanipulasi proses atau hasil pemilu atau pilkada.

Sidang ini dipimpin oleh Ketua DKPP yang bertindak sebagai Ketua Majelis Muhammad yang didampingi anggota DKPP sebagai anggota majelis, yaitu Alfitra Salamm, Teguh Prasetyo, Didik Supriyanto, Ida Budhiati, dan Pramono Ubaid Tanthowi. (Pon)

Baca Juga:

Prof Muhammad: DKPP, KPU dan Bawaslu Masih Satu Garis Perjuangan

#DKPP #Arief Budiman #KPU
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Berita Terkait

Indonesia
Ogah Buka Dokumen Capres-Cawapres, KPU Jadi Tidak Transparan
Rekam jejak yang buruk bisa berdampak langsung pada kualitas penyelenggaraan negara dan meningkatnya potensi korupsi.
Alwan Ridha Ramdani - Selasa, 16 September 2025
Ogah Buka Dokumen Capres-Cawapres, KPU Jadi Tidak Transparan
Indonesia
KPU Minta Maaf Bikin Gaduh soal Dokumen Capres-Cawapres, Apresiasi Masukan Masyarakat
KPU akhirnya minta maaf atas kegaduhan dokumen capres-cawapres. KPU kini telah membatalkan keputusan tersebut untuk merahasikan dokumen capres dan cawapres.
Soffi Amira - Selasa, 16 September 2025
KPU Minta Maaf Bikin Gaduh soal Dokumen Capres-Cawapres, Apresiasi Masukan Masyarakat
Indonesia
KPU Batalkan Aturan Kerahasiaan 16 Dokumen Syarat Capres-Cawapres, Termasuk Soal Ijazah
Keputusan pembatalan itu dilakukan setelah KPU telah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga negara lainnya.
Wisnu Cipto - Selasa, 16 September 2025
KPU Batalkan Aturan Kerahasiaan 16 Dokumen Syarat Capres-Cawapres, Termasuk Soal Ijazah
Indonesia
Ijazah Capres/Cawapres tak Ditampilkan ke Publik, Roy Suryo: ini Seperti Beli Kucing dalam Karung
Roy Suryo menilai, dengan kebijakan itu, masyarakat tidak bisa melihat profil maupun latar belakang calon pemimpin negara.
Dwi Astarini - Selasa, 16 September 2025
Ijazah Capres/Cawapres tak Ditampilkan ke Publik, Roy Suryo: ini Seperti Beli Kucing dalam Karung
Indonesia
KPU Tutup Akses Dokumen Capres-Cawapres, DPR Ibaratkan Beli Kucing dalam Karung
Pejabat publik harus berani tampil terbuka termasuk riwayat hidupnya.
Dwi Astarini - Selasa, 16 September 2025
KPU Tutup Akses Dokumen Capres-Cawapres, DPR Ibaratkan Beli Kucing dalam Karung
Indonesia
KPU Tepis Rumor Penyembunyian Ijazah Sengaja untuk Lindungi Capres/Cawapres
Aturan itu menyesuaikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Dwi Astarini - Selasa, 16 September 2025
KPU Tepis Rumor Penyembunyian Ijazah Sengaja untuk Lindungi Capres/Cawapres
Indonesia
Kebijakan KPU Batasi Akses Ijazah Capres/Cawapres, Pengamat Politik: Berpotensi Langgar Keterbukaan Publik
Pengamat menilai kebijakan KPU berisiko meloloskan calon pemimpin dengan ijazah palsu.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 15 September 2025
Kebijakan KPU Batasi Akses Ijazah Capres/Cawapres, Pengamat Politik: Berpotensi Langgar Keterbukaan Publik
Indonesia
KPU tak Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, Pengamat: Berpotensi Langgar Undang-undang
KPU tak membuka ijazah capres-cawapres ke publik. Pengamat politik, Jerry Massie, mengkritik kebijakan tersebut. Ia menyebut KPK berpotensi melanggar Undang-undang.
Soffi Amira - Senin, 15 September 2025
KPU tak Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, Pengamat: Berpotensi Langgar Undang-undang
Indonesia
Istana Tidak Bakal Ikut Campur Soal Larangan Dokumen Capres Cawapres Dikunci KPU
Aturan terkait dokumen capres-cawapres menjadi kewenangan KPU.
Alwan Ridha Ramdani - Senin, 15 September 2025
Istana Tidak Bakal Ikut Campur Soal Larangan Dokumen Capres  Cawapres Dikunci KPU
Indonesia
16 Dokumen Syarat Pendaftaran Capres-Wawapres Tertutup Bagi Publik, Termasuk Fotokopi Ijazah
Keputusan KPU tersebut sejalan dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Alwan Ridha Ramdani - Senin, 15 September 2025
16 Dokumen Syarat Pendaftaran Capres-Wawapres Tertutup Bagi Publik, Termasuk Fotokopi Ijazah
Bagikan