Dianggap Rasis, WHO akan Mengganti Nama Cacar Monyet


Nama cacar monyet akan diganti karena dinilai diskriminatif. (Foto: 123RF/lculig)
ORGANISASI Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi akan mengganti nama cacar monyet, mengingat kekhawatiran tentang stigma dan rasialisme seputar virus yang telah menginfeksi lebih dari 1.600 orang di lebih dari dua lusin negara.
Direktur jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengumumkan pada Selasa (14/6), bahwa organisasi tersebut sedang bekerja sama dengan pakar dari seluruh dunia untuk mengubah nama virus monkeypox atau cacar monyet.
Ghebreyesus juga mengatakan bahwa WHO akan membuat pengumuman tentang nama baru dari penyakit tersebut sesegera mungkin.
Lebih dari 30 ilmuwan internasional mengatakan pada pekan lalu bahwa label cacar monyet itu diskriminatif dan menstigmatisasi, dan ada kebutuhan 'mendesak' untuk mengganti namanya. Seorang juru bicara mengatakan, nama yang digunakan saat ini tidak sesuai dengan pedoman WHO yang merekomendasikan untuk menghindari wilayah geografis dan nama hewan.
Baca juga:
Jaga Kebersihan Jauhkan Diri dari Infeksi COVID-19, Hepatitis, dan Cacar Monyet

Usulan tersebut memunculkan kontroversi serupa yang muncul ketika WHO bergerak cepat untuk mengganti nama SARS-CoV-2, setelah orang-orang di seluruh dunia menyebutnya sebagai virus Wuhan tanpa adanya penunjukan resmi.
Saat ini WHO juga sedang berkonsultasi dengan para ahli di orthopoxviruses untuk menentukan nama yang lebih tepat, kata seorang juru bicara.
"Penamaan penyakit harus dilakukan dengan tujuan untuk meminimalkan dampak negatif, dan menghindari menyebabkan pelanggaran terhadap kelompok budaya, sosial, nasional, regional, profesional atau etnis," ujarnya.
Cacar monyet telah menjadi endemik di Afrika barat dan tengah selama beberapa dekade terakhir, dan kasus ini lebih dikaitkan dengan penyebaran melalui hewan, daripada penularan dari manusia ke manusia.
Baca juga:
WHO Khawatirkan Penyebaran Cacar Monyet yang Tidak Terdeteksi

Hal tersebut memicu kemarahan dari bebagai pihak termasuk Asosiasi Pers Asing Afrika. Hingga akhirnya pada Mei 2022, mereka meminta media barat untuk berhenti menggunakan foto orang kulit hitam dalam memberitakan penyakit tersebut.
Beberapa minggu setelahnya, para ilmuwan juga mengangkat poin bahwa luka yang dialami pasien penderita cacar monyet, berbeda dari apa yang telah didokumentasikan secara historis di Afrika.
"Seperti penyakit lainnya, penyakit ini dapat terjadi di wilayah mana pun di dunia dan menimpa siapa saja, tanpa memandang ras atau etnis. Karena itu, kami percaya bahwa tidak ada ras atau corak kulit yang seharusnya menjadi penyebab penyakit ini," kata pernyataan dari Asosiasi Pers Asing Afrika. (ref)
Baca juga:
Bagikan
Ananda Dimas Prasetya
Berita Terkait
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Tiga Fase yang Perlu Diwaspadai Saat Terpapar Campak, Demam Tinggi hingga Ruam Menghitam

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Ribuan Anak Terancam Otak Keropos Akibat Cacingan! Pahami 4 Langkah Mudah Lindungi Buah Hati dengan Konsep WASHED
