Bahaya Mengintai di Balik Konsumsi Antibiotik


Bahaya dibalik konsumsi antibiotik. (Foto: Pexels/Tanya Nova)
PENGGUNAAN antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter merupakan salah satu penyumbang
terbesar angka resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan. Salah satu dampak buruk kondisi tersebut adalah sulitnya penyembuhan penyakit. Lamanya proses penyembuhan akan berdampak pula pada tingginya biaya kesehatan.
Menurut penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies. bahwa rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri escherichia coli adalah sebesar USD 10 ribu Dollar AS atau sekitar Rp 149 juta.
Sedangkan bagi pasien yang resistan, nilainya bertambah sebanyak USD 6 ribu Dollar atau Rp 86 juta. Meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.
Baca juga:
Resistensi Antibiotik, Efek Samping Kebiasaan Minum Obat Tanpa Resep

AMR menjadi satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia. Sayangnya meski cukup bahaya, angka konsumsi antibiotik justru mengalami peningkatan. Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara berkembang pada periode 2000-2015.
Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K), Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan faktor pendorong tingginya penggunaan antibiotik di Indonesia.
"Antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit mulai dari demam sampai nyeri sendi dan dapat dibeli di apotek, toko obat, bahkan warung yang tersebar di seluruh Indonesia," sebutnya.
Masyarakat seringkali membeli obat 'sembarangan' sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan karena letaknya yang strategis, terpercaya, dapat diperoleh pada malam hari, dan memberikan akses yang mudah kepada obat-obatan esensial seperti antibiotik. Tapi, obat-obat tersebut seringkali dijual tanpa resep.
"Pasien menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat permintaan antibiotik sangat tinggi. Di sisi lain, antibotik dapat dibeli dengan mudah, sehingga dapat menjadi pemicu berkembangannya antimicrobial
resistance (AMR) di Indonesia,” urainya.
Dengan meningkatnya angka penggunaan antibiotik, Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH. selaku Koordinator Indonesia One Health University Network (INDOHUN) mengatakan, selama 15 tahun terakhir penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165%.
"Peningkatan tajam ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik. Dalam menangani kejadian AMR, prinsip pendekatan one health, yakni koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pihak," urainya.
Baca juga:
Kontroversi Ivermectin, Obat Keras yang Disebut Bisa Sembuhkan COVID-19

“Banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep yang kerap terjadi di Indonesia merupakan salah faktor pemicu AMR," tutur Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021.
Ia menambahkan, peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949, disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan.
"UU Obat keras tersebut menyatakan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknis, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak," jelasnya.
Untuk mengatasi tidak terkendalinya konsumsi antibiotik, Tri Wibawa menyebutkan ada berbagai hal yang bisa dilakukan. Penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran antibotik di masyarakat yang dapat berlaku sebagai pemicu resistensi antibiotik.
Namun, hal ini saja tidak cukup untuk menyelesaikan keseluruhan masalah resistensi antimikroba. Pendekatan multi aspek perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi pendorong praktik penjualan antibotik tanpa resep.
Misalnya, motivasi untuk memaksimalkan keuntungan dari toko-toko obat, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lainnya. (avia)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Tekor! Indonesia Impor Obat Rp 176 Triliun Tapi Ekspor Cuma Rp 6,7 Triliun

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke
