Resistensi Antibiotik, Efek Samping Kebiasaan Minum Obat Tanpa Resep
Kebiasaan minum obat setiap sakit tidak baik. (Sumber: Pexels/ Michelle Leman)
KALAU sakit itu berobat. Frasa tersebut nampaknya benar-benar diamini masyarakat Indonesia. Ketika tubuhnya sedang tidak enak badan, seseorang cenderung memilih untuk membeli obat di apotek alih-alih memperbaiki pola hidup, istirahat atau ke dokter. Namun ternyata, kebiasaan tersebut bisa menjadi bumerang.
“Dari sisi masyarakat, masih terdapat persepsi bahwa setiap penyakit harus menggunakan obat atau antibiotik, padahal banyak penyakit infeksi khususnya yang disebakan oleh virus sebenarnya bersifat self-limiting disease, sehingga lebih banyak memerlukan istirahat dan nutrisi yang baik," saran Dr. dr. Erwin Astha Triyono, Sp.PD, K-PTI, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi RSUD Dr. Soetomo.
Baca juga:
Terobsesi Makanan Sehat? Bisa Jadi Penderita Orthorexia Nervosa
Dokter Erwin juga mengungkapkan banyak pasien berusaha mengobati penyakitnya sendiri. Bahkan, mereka membeli obat termasuk antibiotik di apotek dan setelah penyakitnya memburuk, baru berkonsultasi ke dokter atau layanan kesehatan. "Hal ini yang sering menyebabkan kuman menjadi resisten dan menimbulkan beban biaya menjadi lebih besar," ujarnya.
Dirinya mengimbau masyarakat perlu menggunakan antibiotik secara bijak, rasional, dan tuntas. Dengan begitu, angka kesembuhan meningkat serta mengurangi lama rawat inap, angka kesakitan dan kematian, pembiayaan, penularan kepada orang lain, dan mencegah resistensi.
“Selain meningkatkan peran semua pihak, termasuk pemerintah (dalam hal ini lintas kementerian) serta swasta untuk mendukung program pengendalian resistensi antibiotik, peningkatan implementasi program di semua fasilitas kesehatan juga penting," terangnya.
Baca juga:
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter (overuse & misuse) merupakan salah satu penyumbang terbesar angka AMR (resistensi antimikroba) di dunia kesehatan. Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000–2015. Itu menjadikan AMR salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.
Meskipun situasi AMR di masing-masing kawasan berbeda, tetapi Asia merupakan kawasan yang memiliki prevalensi AMR yang tinggi. Sehingga, dalam KTT Menteri Luar Negeri ASEAN plus Tiga ke-21 di Vietnam beberapa waktu lalu, disepakati perlunya upaya bersama mengatasi AMR. "Budaya menggunakan antibiotik yang bijak perlu ditunjang sistem promosi dan edukasi yang berkelanjutan," ujarnya.
Selain itu, dirinya juga menyarankan jumlah tenaga ahli mikrobiologi atau patologi klinik perlu ditambah dan didistribusi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Kelengkapan alat-alat mikrobiologi dan standarisasi nasional serta keteraturan melakukan update pola resistensi kuman sangat diperlukan. "Revisi tata laksana penggunaan antibiotik juga perlu dilakukan secara berkala,” tutupnya. (avia)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
Pasar Pramuka Tetap Ramai Jelang Revitalisasi Total di Tahun 2026
SDM Dokter belum Terpenuhi, Kemenkes Tunda Serahkan RS Kardiologi Emirate ke Pemkot Solo
Program Pemutihan BPJS Kesehatan Berlangsung di 2025, ini Cara Ikut dan Tahapannya
Prodia Hadirkan PCMC sebagai Layanan Multiomics Berbasis Mass Spectrometry
Senang Ada Temuan Kasus Tb, Wamenkes: Bisa Langsung Diobati
Kericuhan di Pasar Pramuka Hari Ini Saat Kios-kios Obat Ditutup Paksa Perumda, Pedagang Bingung Sampai Ada yang Menangis
Momen Garda Medika Hadirkan Fitur Express Discharge Permudah Layanan Rawat Jalan
Cak Imin Imbau Penunggak Iuran BPJS Kesehatan Daftar Ulang Biar Bisa Diputihkan
23 Juta Tunggakan Peserta BPJS Kesehatan Dihapuskan, Ini Syarat Penerimanya
Trik Dokter Jaga Imun: Vitamin, Hidrasi & Tidur Lawan Penyakit Cuaca Ekstrem