Anwar Usman Beda Pendapat soal MK Hapus Presidential Threshold


Eks Ketua MK Anwar Usman menghadiri panggilan MKMK di Gedung II MK, Jakarta, Jumat (3/11/2023). (ANTARA/Rina Nur Anggraini)
MerahPutih.com - Terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat hukum berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Keduanya yakni, Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Anwar dan Daniel menilai para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum sehingga permohonan pemohon seharusnya tidak dapat diterima.
Diketahui, uji materi perkara perkara 62/PUU-XXII/2024 diajukan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Mereka yakni, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Ketua MK Suhartoyo mengatakan, dissenting opinion Anwar Usman dan Daniel Yusmic dianggap dibacakan. Pada prinsipnya, kata Suhartoyo, kedua hakim konstitusi tersebut menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
"Pada pokoknya kedua hakim tersebut berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing," kata Suhartoyo saat membacakan dissenting opinion di gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Baca juga:
MK Minta DPR Susun Aturan Cegah Munculnya Banyak Paslon di Pilpres
“Mahkamah seharusnya menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)," sambung Suhartoyo.
MK mengabulkan gugatan terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK mengabulkan permohonan uji materi tersebut untuk seluruhnya. Dengan demikian, persyaratan presidential threshold 20 persen kursi di DPR atau 25 persen dari suara nasional dihapus.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
MK menyatakan, norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 222 yang mengatur persyaratan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," ucap Suhartoyo. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Imunitas Jaksa Dibatasi oleh Putusan MK, Kejagung Janji Lebih Berintegritas

Putusan MK 'Paksa' Revisi UU ASN, DPR Tegaskan Perlunya Pembentukan Lembaga Independen Baru untuk Awasi Sistem Merit

Istana Pelajari Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Pembentukan Lembaga Pengawas ASN, Diklaim Sejalan Dengan Pemerintah

Komisi Kejaksaan Hormati Putusan MK soal Pembatasan Imunitas Jaksa

MK Batasi Imunitas Kejaksaan: Pemeriksaan Hingga OTT Jaksa Tidak Perlu Izin Jaksa Agung

MK Wajibkan Pemerintah Bentuk Lembaga Independen Awasi ASN, Tenggat Waktunya 2 Tahun

Rumus Kenaikan UMP 2026 Ditargetkan Kelar November, Pemerintah Bakal Merujuk Putusan MK 168

Hakim MK tak Setuju Pemerintah Sebut JR UU Pers Beri Kekebalan Hukum Absolut bagi Wartawan

Sidang Uji Materiil UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers di Mahkamah Konstitusi

DPR Janji Bikin UU Baru Ketenagakerjaan, Ada 17 Isu Baru Diminta Buruh
