Anis Matta Sebut Masih Ada Kejutan Perubahan Koalisi di Pilpres


Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Anis Matta Matta. (Foto: YouTube)
MerahPutih.com - Masih akan ada kejutan-kejutan perubahan koalisi partai politik dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sebelum pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Anis Matta Matta melalui YouTube Gelora TV dengan tema "Mengapa Ada Perubahan Koalisi? Anis Matta menjawab, Rabu (6/9).
"Nah, sekarang kita melihat kejutan-kejutan ini terus muncul, koalisinya terus berubah-ubah. Jadi sebenarnya kalau ada yang membentuk koalisi perubahan, itu hanya cita-cita. Tapi perubahan koalisi, itu fakta dan akan terus berubah tergantung realitas politik," ujarnya.
Baca Juga:
Alasan Partai Garuda Dukung Prabowo di Pilpres 2024
Sehingga, diperlukan alat baca untuk memahami perubahan koalisi ini, yang dilakukan para pemimpin politik atau ketua umum partai politik (parpol). Partai Gelora, lanjutnya, punya kepentingan agar publik dapat memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam koalisi ini.
Menurut Anis Matta, ada dua pendekatan yang bisa menjadi tolok ukur dari perubahan koalisi, yakni pertama faktor sistem dan kedua faktor aktor, serta dilengkapi oleh faktor agama.
Faktor sistem dikarenakan Indonesia mengenal sistem multipartai, bukan dua partai. Apalagi di dalam pengusungan capres juga harus memenuhi ketentuan presidential treshold (PT) 20 persen.
"Dalam sistem kita sekarang itu, hanya ada satu partai yang bisa mencalonkan presiden seorang diri, sedangkan lainnya tidak cukup, sehingga harus koalisi. Tapi pada prinsipnya, antara parlementer dan presidensial, koalisi itu adalah keniscayaan," jelasnya.
Perbedaannya, dalam parlementer, koalisi bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan bisa bubar setiap saat apabila tidak ada kesepakatan lagi.
Sedangkan dalam sistem presidensial, berkoalisi hanya bertujuan untuk menetapkan capres dan cawapres.
"Jadi kita harus memandang, bahwa koalisi dalam sistem politik itu harus dibentuk sejak awal dan berubah-ubah terus, karena kondisinya memaksa begitu. Sistem multipartai ini memaksa kita berkoalisi, dan kenapa PKB dan NasDem berkoalisi, ya karena cukup secara sistem," ujarnya.
Baca Juga:
Alasan Poros Ke-4 dalam Pilpres 2024 Bakal Sulit Terwujud
Anis Matta berpandangan, seluruh partai di parlemen memiliki value atau nilai, karena memiliki kursi dan bisa menentukan arah koalisi, berbeda dengan Partai Gelora sebagai partai pendatang baru.
"Secara rasional proses perubahan dalam format koalisi itu hal niscaya, itu fakta. Tapi kalau tidak ada presidential threshold, maka setiap partai politik akan punya capresnya sendiri-sendiri," ujarnya.
Sedangkan faktor aktor atau pelaku berperan untuk memaksa sistem tersebut berkoalisi, meski koalisi itu suatu keniscayaan. Hal itu bisa terjadi sebelum dan sesudah pilpres. Artinya, bahwa format koalisi itu sebenarnya adalah tabiat dari para aktor tersebut.
Hal ini dimulai dari penetapan capres hingga pembentukan pemerintahan. Pembentukan pemerintahan juga bukan untuk memenuhi keabsahan, tapi lebih pada pertimbangan politik dari si aktor atau pelaku.
Anis Matta mengungkapkan bahwa aktor-aktor tersebut dapat memahami aturan dan memahami cara mencapai tujuan dengan baik, serta sangat rasional dalam menentukan pilihan-pilihan langkahnya.
Sehingga diharapkan agar semua orang tidak memandang kejutan-kejutan yang terjadi dari perubahan koalisi ini, sebagai peristiwa luar biasa, tapi peristiwa biasa.
Sebab, para aktor itu tersebut, sebenarnya memiliki masalah tersendiri hingga membuat kejutan-kejutan dengan motif atau specific interest yang berbeda-beda.
"Tapi apakah dia benar-benar ingin menjadi presiden dan wakil presiden? Boleh jadi dia punya tujuan lain yang belum terungkap, yaitu berguna untuk perlindungan hukum misalnya, paling tidak sementara, kan bisa begitu," katanya.
Namun, motif-motif tersebut, menurut Anis Matta, tetap tidak bisa dipahami, karena cara mencapainya sangat rasional. Hingga tindakan yang rasional itu, tampak seperti tidak rasional sama halnya dengan keinginan untuk menjadi capres, cawapres ataupun menteri.
"Tetapi tindakan PKB dan NasDem itu rasional, ya cukup 20 persen seperti sistemnya. Makanya, saya respek dengan Pak Prabowo, mengatakan itulah demokrasi. Ada yang datang, ada yang pergi dan setelah dia pergi mungkin saja kembali lagi. Artinya, kita jangan baperan dalam berpolitik," tandas Anis Matta.
Fenomena perubahan koalisi ini, sebenarnya sudah dijelaskan oleh Islam. Mengapa orang berperang dan mengapa orang bersekutu. Contoh yang paling terang adalah Piagam Madinah, yang menjadi platform persekutuan kelompok-kelompok yang berbeda yang tinggal di tanah yang sama. (Asp)
Baca Juga:
Pengamat: Pilpres 2024 Hanya Diikuti Tiga Poros
Bagikan
Asropih
Berita Terkait
KPU Susun Materi Revisi Undang-Undang Pemilu Untuk Dibahas Dengan DPR RI

DPR Bakal Lakukan Kodifikasi dan Kompilasi UU Paket Pemilu dan Partai Politik

Rencanakan Revisi UU MK, Politikus DPR Akui Banyak Pro dan Kontra

Alasan DPR Ngotot Dukung Pemisahan Pemilu Usai Putusan MK

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, 5 UU Penting Terancam Berubah

Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah, Kemendagri Dalami Putusan MK dan Siapkan Skema Baru

Paradok MK Bikin Panas! Legislator Bongkar Kejanggalan Putusan Pemilu Terbaru

Ketua KPU Nilai Pemilu Terpisah Ideal, Singgung Kematian Petugas di 2019

DPR Tunda Pembahasan RUU Pemilu, Pembicaraan di Fraksi Masih Secara Informal

Anies Punya Cucu Pertama, Ingin Dipanggil ‘Bang’ tapi Dilarang sang Istri
