Alasan DPR Belum Setujui Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan


Politisi Partai Demokrat Dede Yusuf. (MP/Fadhli)
MerahPutih.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menyetujui usulan kenaikan iuran BPJS kesehatan, khususnya untuk peserta kelas III yang notabene merupakan masyarakat miskin.
Jika iuran yang dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan ingin tetap naik, maka harus dengan syarat tertentu. Sementara untuk kelas I dan II pihaknya menyerahkannya kepada pemerintah, karena menyangkut perusahaan yang harus membayar lebih besar.
Baca Juga
"Tentu Pemerintah harus menghitung dengan baik, jangan sampai nanti juga ada penolakan dari perusahan,” ungkap Dede Yusuf Macan Effendi dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (6/9).

Menurut Dede, ada beberapa syarat yang terlebih dahulu harus dijalankan atau diperbaiki oleh BPJS Kesehatan untuk menaikan iuran BPJS. Seperti perbaikan tata kelola dan manajemen pelayanan, termasuk obat-obatan, serta menuntaskan perbaikan data atau data cleansing.
“Jangan-jangan selama ini salah sasaran, karena jumlah rakyat miskin saat ini 10 persen atau sekitar 26 juta orang, kalau lebih dari 26 juta orang, berarti salah sasaran” ujar politisi Partai Demokrat ini.
Meski demikian, Dede juga mengapresiasi pemerintah menaikan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari 23 ribu menjadi 42 ribu. Artinya negara mendahulukan warga miskin yang tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Untuk itu pihaknya meminta data cleansing dari Kementerian Sosial dan Dukcapil harus benar-benar divalidasi. Sehingga bisa dipastikan yang mendapat PBI tersebut adalah benar-benar orang yang berhak.
Baca Juga
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Angger Yuwono menegaskan jika tak ada kenaikan, maka di tahun 2024 nanti BPJS Kesehatan akan mengalami defisit Rp 77,9 triliun. Kemudian, potensi pembengkakan defisit BPJS Kesehatan tersebut mulai Rp 39,5 triliun (2020), Rp 50,1 triliun (2021), Rp 58,6 triliun (2022), Rp 67,3 triliun (2023) dan Rp 77,9 triliun (2024), total Rp 290-an triliun.
“Kalau kerugian tersebut dibiarkan, siapa yang akan bertanggungjawab atas defisit Rp 290 triliun itu?. Apalagi ada anomali, iuran yang dibayarkan sekian, tapi klaimnya hingga empat kali lipat. Juga BPJS Mandiri, anggotanya yang aktif membayar hanya 55 persen, selebihnya 45 persen tidak membayar. Jadi, semuanya harus diperbaiki,” ungkapnya.
Baca Juga
Perlu diketahui bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berlaku secara menyeluruh di seluruh Indonesia pada tanggal 1 Januari 2020 mendatang.

Kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan tersebut antara lain; untuk kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp160.000 per bulan. Kemudian kelas II dari Rp 59.000 menjadi Rp110.000 per bulan. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Skrining BPJS Kesehatan Kini Wajib, Ini Cara Daftarnya Secara Online

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik, Alasanya Tambah Jumlah Peserta Penerima Bantuan Iuran

Cara Skrining Kesehatan BPJS Secara Online Lewat Aplikasi JKN dan Website

Pemerintah Kurangi Beban Pengeluaran Industri Padat Karya, Kurangi Iuran BPJS Ketenagakerjaan

7,3 Juta Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional Dinonaktifkan, Masih Bisahkan Akses Layanan?

3 Syarat Warga Miskin di Luar DTSEN bisa Aktifkan Ulang Status PBI JKN

Status 7,3 Juta PBI JKN Dinonaktifkan, Dirut BPJS Kesehatan Ikuti Instruksi Presiden

Pemprov DKI Bakal Berikan Subsidi Hewan Saat Berobat, Bukan Iuran Seperti BPJS Kesehatan

Gelar PESIAR untuk Warga Belum Masuk JKN, BPJS Kesehatan Solo Gandeng 67 Agen Swasta
