Serangan Siber Diprediksi Kian Masif dan Meningkat di Tahun 2018
Rabu, 27 Desember 2017 -
MerahPutih.Com - Keamanan siber menjadi salah topik utama sepanjang tahun 2017. Indonesia selama tahun 2017 mendapat serangan siber bertubi-tubi. Salah satu yang paling menarik perhatian publik yakni ransomware wannacry.
Berdasarkan data dari Indonesia Security Incident Responsie Team on Internet Infrastructure/Coordinator Center (Id-SIRTII/CC) hingga November 2017 tercatat sebanyak 205.502.159 serangan.
Menurut pakar keamanan siber Pratama Persadha, perlu ada prosedur operasi standar atau standard operating procedure (SOP) menghadapi "ransomware wannacry" ganas.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center /CISSReC) itu mengingatkan bahwa pada tahun 2017 menjadi pertanda bagi semua pihak, khususnya Pemerintah untuk lebih serius memperhatikan isu keamanan siber.
Berikut sejumlah serangan siber yang dirangkum merahputih.com dari Antara:
Usaha peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di awal Februari 2017, misalnya, sempat mengagetkan publik di Tanah Air karena oknum peretasannya pada saat penghitungan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta putaran pertama.
Selang dua bulan, tepatnya pada tanggal 28 April, peretas berhasil melakukan "deface" (menyisipkan file pada server) laman muka Telkomsel. Berikutnya, pada bulan Mei 2017, situs Dewan Pers (dewanpers.or.id) dan situs Kejaksaan Agung (kejaksaan.go.id) juga diretas.
Pada bulan yang sama, seluruh dunia termasuk di Indonesia mengalami serangan "ransomware wannacry". Selang beberapa bulan, "ransomware" dengan model yang hampir sama bernama "nopetya" juga ikut menyerang.
Menurut Pratama, salah satu yang patut dilihat adalah fenomena keamanan siber ini telah berdampak pada pengguna individu. Di sinilah peran pemerintah untuk masuk dan mendidik masyarakat.
Isu pornografi WhatsApp, pemblokiran Telegram, dan juga registrasi SIM card, misalnya, adalah bukti bahwa isu keamanan siber ini sudah menyentuh langsung individu.
"Tinggal sekarang "PR (pekerjaan rumah)" besarnya sejauh dan sedalam apa negara bisa masuk serta mengedukasi masyarakat," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu.
Menurut dia, tanpa keterlibatan dan kesadaran masyarakat maka sulit menciptakan keamanan siber yang kuat dan paripurna.
Ancaman serangan pada individu diperkirakan akan terus naik tajam. Perkembangan teknologi membuat adopsi Internet of Things (IoT) makin tinggi.
Belum lagi, penggunaan smartphone untuk transaksi. Hal ini bisa dilihat dari gencarnya investasi di sektor ini, seperti investasi Jack Ma di Tokopedia. Semua perkembangan ini wajib diikuti dengan peningkatan keamanan siber di semua aspek.
Pratama Persadha sebagaimana dilansir Antara, Rabu (27/12) memperkirakan pada tahun 2018 akan menjadi tahun yang sangat sibuk karena bertepatan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Situasi di Tanah Air bakal menghangat, apalagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, baik Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI.
Namun, lanjut Pratama, bila tidak diimbangi dengan pendidikan yang gencar, maka akan sangat sulit mewujudkan suasana yang menguntungkan atau aman di media sosial dan internet pada umumnya.
Harus dicatat bahwa situasi politik yang hangat bisa saja memantik saling retas antarkubu. Hal semacam ini harus serius dipikirkan oleh Pemerintah untuk mengurangi risiko semacam ini. Belum lagi ancaman "ransomware" semacam "wannacry" yang kemungkinan besar hadir kembali pada tahun 2018.(*)