Pandemi COVID-19 Dinilai Berdampak pada Penurunan Kualitas Demokrasi dan Keragaman
Jumat, 03 Desember 2021 -
MerahPutih.com - Pandemi COVID-19 yang berlangsung hampir dua tahun berdampak pada banyak sektor.
Selain berpengaruh besar terhadap kesehatan dan perekonomian, pandemi juga dinilai ikut mempercepat penurunan kualitas demokrasi Indonesia dan banyak negara lain.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama Helmy Faishal Zaini mengatakan, Economist Intelligent Unit (EIU) mencatat penurunan kualitas demokrasi Indonesia dan banyak negara selama pandemi. Penurunan itu bagian dari tantangan demokrasi di tengah pandemi.
Helmy yang juga anggota Komisi I DPR RI itu menyebut, tantangan itu antara lain dari dunia digital yang semakin marak digunakan selama pandemi.
Baca Juga:
Tiga Faktor Penyebab Kasus Kekerasan Perempuan di Yogyakarta Meningkat Selama Pandemi
Pada pelantar digital itu bertebaran berbagai hal yang justru mengancam demokrasi.
“Paham-paham transnasional disebar melalui pelantar digital. Paham-paham itu memanfaatkan demokrasi untuk menghapuskan demokrasi,” ujarnya dalam diskusi “Menuju Bali Democracy Forum : Demokrasi di Era Pandemi, Menjawab Tantangan Dari Setiap Negeri”, yang dikutip di Jakarta, Jumat (3/12).
Helmy menuturkan, prinsip demokrasi yang membolehkan perbedaan pendapat membuat penyebaran paham itu tidak mungkin dilarang.
"Hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat atas isu-isu itu," katanya.
Di sisi lain, perlu juga dipahami demokrasi bukan hanya soal hak berbeda pendapat. Padahal, kematangan demokrasi lebih dari hal itu.
Dibutuhkan kesiapan dan kesabaran untuk mengembangkan demokrasi. Sebab, proses demokratisasi membutuhkan waktu panjang.
Menurut dia, tidak tepat jika menganggap hanya ada satu versi demokrasi yang benar.
Demokrasi tidak hanya dari paradigma sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dan kehidupan publik, termasuk sistem hukum dan politik.
Demokrasi juga bisa menggunakan paradigma simbiotik seperti diterapkan di Indonesia.
Baca Juga:
Kasus HIV/AIDS di Solo Mengalami Peningkatan Drastis di Tengah Pandemi COVID-19
Pengamat politik internasional Universitas Paramadina Mahmud Syaltout mengatakan, dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi.
Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan.
Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal demokrasi membutuhkan keragaman.
“Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Ansor itu.
Sementara di sejumlah negara lain, tekanan ekonomi berujung pada penggulingan pemerintah. Di sejumlah negara, ada kudeta yang antara lain dipicu alasan itu.
Ia juga menyebut, demokrasi memang harus ditumbuhkan dari dalam negeri. Sebab, pemaksaan dengan alasan mendorong demokratisasi adalah pelanggaran.
“Ada negara-negara yang mengintervensi negara lain dengan alasan mendorong demokrasi. Tindakan itu melanggar demokrasi,” kata Mahmud.
Sementara itu, Dirjen Informasi dam Diplomasi Publik Kemenlu Teuku Faizasyah mengatakan, pandemi memberi kesempatan kepada negara demokrasi untuk mencari model keseimbangan baru.
Sebab, ada kebutuhan pengendalian pandemi dan di sisi lain ada kebutuhan tetap menjaga hak-hak warga.
Pada negara-negara demokrasi, percobaan mencari keseimbangan itu dimungkinkan karena pemerintah dan masyarakat madani bisa bebas menyatakan pendapatnya.
Diskusi-diskusi itu menjadi salah satu cara mencari keseimbangan baru di tengah pandemi. Kondisi itu sulit diharapkan pada negara-negara otoriter.
Lewat Bali Democracy Forum, Indonesia ingin menyediakan ajang bagi masing-masing negara berbagi pengalamannya dalam mengelola pandemi dan demokrasi.
BDF tidak ditujukan untuk membandingkan beragam versi demokrasi dan juga tidak bermaksud menyeragamkan beragam versi demokrasi di berbagai negara.
“Demokrasi tidak monolitik, amat berwarna,” kata Teuku Faizasyah. (Knu)
Baca Juga:
Nostalgia Nonton Bioskop Sebelum Pandemi, Sampai Rela Bolos!