Mencari Akar Persoalan Tragedi 65 Melalui Simposium

Senin, 18 April 2016 - Zulfikar Sy

MerahPutih Nasional- Tragedi pembantaian manusia pada tahun 1965 menjadi catatan hitam bagi sejarah perpolitikan nasional. Sejarah yang didesain untuk menghanguskan generasi bangsa yang disebut pengikut, simpatisan atau dituduh sebagai orangnya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Belum ada angka pasti terkait jumlah korban manusia yang diculik dan dibunuh pada peristiwa tersebut. Namun banyak data menyebutkan korban pembantaian manusia pada tragedi 65 lebih besar dibandingkan dengan pemusnahan massal umat yahudi Jerman (Holocaust). Diperkirakan sekira tiga juta nyawa melayang dan hilang.

Polemik terkait isu siapa dalang dari tragedi ini terus menyisakan tanda tanya. Berbagai pihak menyebut pemerintah saat itu merupakan biang keladi pembunuhan. Dengan dalih yang sama, sejumlah pihak juga mengklaim pembunuhan tersebut merupkan reaksi atas pemberontakan serta pengkhiatan sekelompok orang yang mengatasnamakan PKI.

Alhasil, siapa dalang dari konspirasi politik dahsyat tersebut terkubur dalam-dalam.

Berbagai penyelidikan yang dilakukan lembaga hukum negara dan lembaga independen terkesan termentahkan. Pasalnya, setiap kubu baik korban maupun pelaku memegang kuat bukti kebiadaban masing-masing kelompok.

Kelompok pro mengatakan PKI merupakan biang kekacauan NKRI, sementara kelompok kontra mengatakan kami adalan korban. Padahal, sejarah panjang politik negeri ini tak lepas dari Pra dan pasca kondisi tragedi 65.

Sejumlah tokoh anti PKI mengatakan tragedi 65 merupakan efek politik cerita panjang kekejaman partai berlambang palu arit tersebut. Di lain pihak kekejaman PKI itu tidak ada sangkutan dengan generasi selanjutnya yang dituduh sebagai simpatisan atau pengikut PKI.

Polemik inilah yang kemudian hari membekas hingga saat ini. Generasi korban yang dituduh sebagai pengikut dan simpatisan PKI menuntut agar kasus tersebut dibuka seluas-luasnya bagi kebenaran dan keadilan.

Lebih lanjut, bukti pembantaian tragedi 65 di klaim berhasil dikumpulkan Komnas HAM. Pada 2012 lalu Komnas HAM telah menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 30 September 1965.

Namun disisi lain terlepas dari sengkarut persoalan 65, apakah Komnas HAM mempertimbangkan aksi PKI sebelum tragedi 65. Masih menjadi pertanyaan.

Rekonsiliasi, Mencari Kebenaran Melalui Simposium

Hari ini 18 April 2016, Pemerintah menggandeng sejumlah pihak terkait untuk mengelar simposium guna mencari kebenaran untuk menjadi acuan kesimpulan-kesimpulan selanjutnya.

Agenda simposium 65 ini diharapkan menjadi tonggak awal melakukan rekonsiliasi. "simposium ini dimaksudkan untuk melihat kekurangan dan kelebihan peristiwa 65 secara objektif yang memberi kesempatan kepada seluruh elemen bangsa maupun para korban dalam melihat peristiwa tersebut," ujar Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan di lokasi simposium 65, Jakarta, Senin (18/4).

Luhut mengatakan simposium ini bukan untuk mengarahkan pemerintah agar meminta maaf kepada korban. Tidak pernah ada terpikir kita untuk minta maaf, mungkin akan datang penyelesaian yang lebih mendalam terhadap peristiwa-peristiwa yang lalu.

BACA JUGA:

  1. Pro-Kontra Simposium Nasional Bahas Tragedi 1965
  2. Yudi Latief: GBHN Penting untuk Pembangunan
  3. Try Sutrisno: Saya Optimis Generasi Muda Dapat Mengamalkan Pancasila
  4. Konsolidasi PPP Dilempari Molotov
  5. Dua Petugas Pajak Tewas, Presiden Jokowi: Usut Tuntas dan Hukum Pelakunya

 

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan