Krisis Demokrasi Melanda Universitas Nasional

Kamis, 06 Agustus 2020 - Zulfikar Sy

MerahPutih.com - Sejumlah mahasiswa Universitas Nasional (UNAS) yang tergabung dalam aliansi UNAS Gawat Darurat (UGD) menggelar diskusi aksi simpatik bertajuk "Krisis Demokrasi di Kampus Perjuangan, dalam Menuntut Pemotongan di Masa Pandemi" beberapa waktu lalu.

Diskusi tersebut membahas permasalahan krisis demokrasi kala mahasiswa UNAS menggelar aksi demonstrasi menuntut keringanan biaya perkuliahan selama masa pandemi COVID-19. Pihak kampus diduga melakukan tindakan represif terhadap para mahasiswa.

Baca Juga:

LBH Jakarta Kecam Tindakan Represif UNAS terhadap Mahasiswa

Perwakilan mahasiswa UNAS Deodatus Sunda Se mengatakan, UNAS tidak memberikan pemotongan biaya perkuliahan selama pandemi COVID-19 secara objektif. Padahal, kata dia, pandemi telah mendatangkan tak hanya dampak kesehatan, namun juga ekonomi bagi orang tua mahasiswa.

"Melihat kampus kita yang membungkam ruang demokrasi di kampus. Di tengah situasi krisis ekonomi dan kesehatan yang melanda, UNAS tidak memberikan potongan berdasarkan situasi objektif," kata pria yang akrab disapa Dendy ini.

Ia mengakui, UNAS telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 52 Tahun 2020 yang berisi pemotongan biaya kuliah bagi para mahasiswa. Hanya saja, pemotongan tersebut hanya sebesar Rp100 ribu dan ditujukan kepada 10 ribu mahasiswa UNAS. Padahal, berdasarkan data Forum Laporan Pendidikan Tinggi (Forlap Dikti), keseluruhan mahasiswa aktif UNAS berjumlah 13.477 orang.

Hal itu, menurut Dendy, tak mencukupi kebutuhan mahasiswa. Bahkan berdasarkan investigasi mandiri yang dilakukan UGD, ditemukan fakta bahwa pihak kampus telah memotong upah dosen tetap, office boy (OB), hingga cleaning service. "Bahkan, pekerja parkir harus dirumahkan," imbuhnya.

Krisis demokrasi kian terlihat ketika pihak kampus merespons kritik kebijakan pemotongan biaya perkuliahan di media dengan memanggil para mahasiswa yang terlibat. Dendy menyatakan, para mahasiswa yang dipanggil diwajibkan menghadap Komisi Disiplin (Komdis) UNAS bersama orang tua mereka.

"Di dalam pemanggilan tersebut, isi pertemuan itu berisi dengan ancaman bahwa mahasasiswa yang ikut terlibat dalam kamapanye media akan dipidanakan dengan tuduhan pelanggaran UU ITE," tuturnya.

Para mahasiswa yang tergabung dalam UGD lantas bergerak menggelar aksi massa untuk merespons pemanggilan tersebut. Namun menurut penuturan Dendy, pihak kampus membubarkan aksi secara paksa menggunakan kekerasan.

"Bahkan, salah satu kawan media kolektif ditangkap dan dikeroyok oleh pihak sekuriti," ujar kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini.

Dendy menjelaskan, pada 7 Juli 2020, pihak dekan kampus mengeluarkan SK drop out (DO) beserta sanksi akademik lainnya kepada sejumlah mahasiswa. "Saking kerasnya intimidasi dan ancaman dari pihak kampus, para korban sanksi tidak berani mempublikasi surat sanksi akademiknya," kata dia.

UNAS Gawat Darurat (UGD) menggelar diskusi aksi simpatik bertajuk "Krisis Demokrasi di Kampus Perjuangan, dalam Menuntut Pemotongan di Masa Pandemi". (Foto: MP/Ponco Sulaksono)
UNAS Gawat Darurat (UGD) menggelar diskusi aksi simpatik bertajuk "Krisis Demokrasi di Kampus Perjuangan, dalam Menuntut Pemotongan di Masa Pandemi". (Foto: MP/Ponco Sulaksono)

Lebih lanjut dikatakannya, pihak kampus lalu melaporkan dua mahasiswa yang tergabung dalam UGD ke Polres Metro Jakarta Selatan dengan tuduhan melakukan pengrusakan. Menurut Dendy, hal itu merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan pihak kampus terhadap peserta aksi.

Bahkan, salah seorang mahasiswa bernama Abdi, kata Dendy, dikeroyok pihak sekurtiti berseragam maupun tak berseragam pada 14 Juli 2020.

"UGD meminta potongan biaya kuliah di masa pandemi sebesar 50-65 persen, namun tidak ada itikad baik dari pihak kampus untuk memberikan potongan hingga detik ini," tegas dia.

Menanggapi hal tersebut, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menyarankan para mahasiswa untuk mendesak UNAS mengeluarkan transparansi keuangan. Menurut dia, hak itu dijamin dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

"Teman-teman bisa mengajukan permohonan keterbukaan informasi ke kampus. Harapannya nanti, jika tidak ditanggapi teman-teman bisa mengajukan ajudikasi," kata Rivanlee.

Rivanlee menganggap, aksi mahasiswa yang memprotes pemotongan biaya perkuliahan sebagai hal yang wajar. Sebab, menurutnya, jumlah potongan yang hanya menyentuh angka Rp100 ribu sungguh di luar nalar.

"Pemotongan yang Rp100 ribu di tengah rasio pembayaran Rp6-10 juta seperti pemotongan ongkir (ongkos kirim)," tuturnya.

Ia menambahkan, tindakan represif yang diduga dilakukan pihak UNAS terhadap massa aksi menunjukkan fasisme dan feodalisme masih menjadi momok menakutkan di lingkungan kampus. Ia memprediksi, pola-pola tersebut akan terus berulang di ranah pendidikan tinggi.

"Pada 2015 kami melakukan riset bahwa kebebasan berekspresi dengan melakukan diskusi-diskusi marxisme, LGBT, dan isu-isu lainnya selalu dihadapkan pada pembubaran. Kampus seharusnya menjadi tempat aman untuk melakukan hal-hal tersebut, dan itu yang membedakan kampus dengan ruang ibadah," ucap Rivanlee.

Baca Juga:

TemanKIP Cara Jokowi Bantu Uang Kuliah Mahasiswa Terancam DO

Sementara itu, Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari mengatakan, negara wajib menjamin segala aktivitas yang menunjukkan kebebasan berekspresi. Termasuk aksi protes yang dilakukan mahasiswa UNAS.

"Saya melihat ada beberapa isu yang mencuat di UNAS. Ada isu soal demokratisasi kampus, lalu ada isu kriminalisasi dan yang terakhir ialah isu tentang sanksi akademik," kata Era.

Era menyatakan, UGD mesti memastikan SK DO yang dikeluarkan kampus merupakan produk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Sebab, menurutnya, hal itu dapat menentukan langkah aksi ke depan.

"Apakah keputusan yang dilakukan oleh kampus merupakan KTUN atau bukan? Sehingga dapat menetapkan langkah kita kedepannya. Setinggi-tingginya PTN mendapatkan penindasan, PTS lebih rentan dalam tindak penindasan. Peraturan rektor harus dilihat apakah melanggar UU atau payung hukum yang lebih tinggi atau tidak," ucapnya. (Pon)

Baca Juga:

Kepolisian Jaga Ketat Demo Mahasiswa Papua Depan Kemendagri

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan