Kontroversi Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Bivitri Susanti: Alarm Bahaya bagi Demokrasi

Selasa, 04 November 2025 - Ananda Dimas Prasetya

MerahPutih.com - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto bukan sekadar perdebatan simbolik, melainkan alarm bahaya bagi arah demokrasi dan sistem ketatanegaraan Indonesia.

Menurut Bivitri, langkah tersebut berpotensi menjadi 'pathway' atau jalan kembali menuju sistem pemerintahan otoriter seperti era Orde Baru, bahkan membuka kemungkinan untuk menghidupkan kembali UUD 1945 naskah awal sebelum amandemen.

“Ini semacam alarm sebetulnya, kami menyebutnya semacam pathway untuk kembali kepada UUD yang lama naskah awal yang dibuat pada Juli 1945,” ujar Bivitri dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11).

Baca juga:

SETARA Institute Sebut Gelar Pahlawan untuk Soeharto Langgar Amanat Reformasi dan Hukum

Bivitri menjelaskan, proses amandemen UUD 1945 pada periode 1999–2002 dilakukan sebagai koreksi atas praktik kekuasaan panjang Soeharto yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade.

“Kalau teman-teman ingat, hal pertama yang diubah dalam amandemen UUD 1945 adalah pembatasan masa jabatan presiden, dari tak terhingga menjadi dua kali. Itu belajar dari Soeharto,” jelasnya.

Selain pembatasan masa jabatan, lanjut Bivitri, lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) lahir dari semangat reformasi untuk mencegah terulangnya konsentrasi kekuasaan di satu tangan.

“Bayangkan kalau legitimasi perubahan UUD 45 itu hilang karena Soeharto justru dianggap pahlawan. Itu jalan yang sangat mulus tanpa kerikil untuk balik ke UUD 1945 naskah awal. Kalau balik ke naskah awal, kita tidak punya MK, tidak ada lagi pasal-pasal HAM, tidak ada pembatasan masa jabatan, tidak ada KPU seperti sekarang. Itu mengerikan,” lanjutnya.

Baca juga:

Presiden Prabowo tengah Pikir-Pikir Tetapkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Janji akan Beri Keputusan

Bivitri menegaskan, usulan pemberian gelar kepada Soeharto tidak hanya bermasalah secara moral dan politik, tetapi juga tidak memiliki dasar hukum yang sah.

Menurutnya, setelah amandemen UUD 1945 selesai pada 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) baru, kecuali yang bersifat internal.

“Kalau dikatakan legalitasnya sudah legal, itu salah. Karena TAP MPR sejak 2002 tidak boleh lagi keluar. Jadi kalau ada perubahan pada TAP MPR yang mengatur soal pengadilan Soeharto, itu tidak mungkin,” tegasnya.

Baca juga:

Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Puan Maharani: Cermati Dulu Rekam Jejaknya

Lebih lanjut, Bivitri menyebut tim advokasi yang menolak pemberian gelar, termasuk jaringan masyarakat sipil, telah menelusuri bahwa tidak ada dokumen resmi terkait perubahan TAP MPR yang dapat dijadikan dasar hukum untuk pengusulan gelar tersebut.

“Yang terjadi itu hanya pidato Pak Bamsoet (Ketua MPR). Tapi kalau dikatakan sudah legal secara hukum, ya keliru,” ujarnya.

Menurut Bivitri, upaya mengangkat Soeharto sebagai pahlawan merupakan bentuk distorsi sejarah sekaligus ancaman terhadap hasil reformasi 1998 yang telah diperjuangkan dengan susah payah.

“Sebagai orang yang belajar hukum tata negara, ini mengerikan. Tapi mestinya bukan cuma mengerikan bagi kami, melainkan bagi kita semua,” pungkasnya. (Pon)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan