Konsekuensi Pernikahan Usia Dini pada Kesehatan Mental Perempuan
Kamis, 22 Juni 2023 -
ISU pernikahan usia dini di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Bukan tanpa sebab, berdasarkan data UNICEF per akhir 2022, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN, dengan total hampir 1,5 juta kasus.
Keadaan ini menjadi lebih memprihatinkan sebab sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan oleh seorang Research Fellow dari Monash University Danusha Jayawardana mengungkap bahwa, praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.
Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, dimana 30% di antaranya menikah pada usia 18 tahun. Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat.
Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi.
Baca juga:

Lebih lanjut, studi ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.
“Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing women' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia,” kata Danusha Jayawardana.
Apalagi bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini berpotensi terisolasi secara sosial. Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan.
Sebagai informasi, Istilah Missing Women digunakan menunjukkan kekurangan jumlah perempuan relatif terhadap jumlah perempuan yang diharapkan di suatu wilayah atau negara.
Hal ini paling sering diukur melalui rasio jenis kelamin laki-laki-perempuan, dan secara teori disebabkan oleh aborsi berdasarkan jenis kelamin, pembunuhan bayi perempuan, dan perawatan kesehatan dan gizi yang tidak memadai untuk anak perempuan.
Baca juga:

Selain itu, studi yang sama juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan. Apalagi ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan.
“Pernikahan usia dini seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri. Dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini,” sambungnya.
“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," tutup Danusha. (dsh)
Baca juga: