Ketar-ketir Pejuang Autoimun Jaga Kewarasan
Minggu, 04 Oktober 2020 -
SEBAGAI seorang pengidap penyakit autoimun, pandemi jelas jadi mimpi buruk buat saya. Sebelum ini terjadi, saya dan pejuang autoimun lainnya saja sudah begitu khawatir dengan kondisi tubuh sendiri karena antibodi dalam tubuh yang menyerang diri sendiri.
Sekarang ditambah dengan keberadaan virus tak kasat mata yang berkeliaran. Jadi semakin pusing, takut, dan khawatir.
Hal ini yang juga ternyata dialami oleh beberapa penyandang autoimun seperti saya. Tiga orang dengan autoimun (Odamun) di bawah ini akan membagikan kisah mereka dalam menghadapi masa pandemi COVID-19.
Baca juga:
Namun sebelumnya, sebenarnya apa sih penyakit autoimun itu? Dan mengapa mereka yang menderitanya harus lebih berhati-hati selama masa pandemi.
Mengenal autoimun dan bahayanya di masa pandemi

Autoimun adalah sebuah kondisi dimana sistem imun dalam tubuh menyerang diri sendiri, demikian dilansir dari laman Healthline. Antibodi ini seharusnya menjaga tubuh dari serangan bakteri dan virus.
Namun pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh malah menyerang sel-sel sehat karena dikira benda asing. Belum diketahui alasan mengapa sistem imun menyerang tubuh sendiri, tetapi kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik, lingkungan, dan pola konsumsi makanan.
Ada lebih dari 80 jenis penyakit autoimun. Beberapa di antaranya yang paling umum ialah Diabetes Tipe 1, Rheumatoid Arthritis, Psoriasis, Multiple Sclerosis, lupus (SLE), Graves' Disease, Sjorgen Syndrome, Hashimoto's, Myasthenia Gravis, Celiac Disease, dan lainnya.
Penyakit autoimun tidak bisa disembuhkan, namun obat-obatan bisa mengontrol imun yang terlalu aktif dengan menggunakan obat anti radang serta obat imunosupresan. Kedua obat itu berguna untuk menekan serta mengurangi kekuatan sistem imun tubuh.
Di masa pandemi ini, orang-orang dengan autoimun termasuk salah satu golongan yang rentan dan berisiko terpapar virus COVID-19. Mengutip Benaroya Research Institute, kondisi autoimun memang menyebabkan antibodi jadi lebih aktif namun sayangnya bukan aktif melindungi diri dari virus, melainkan semakin aktif menyerang tubuh sendiri.
Di satu sisi antibodi memang bisa membantu melawan, tapi di sisi lainnya justru jadi bumerang yang malah memperparah gejala autoimun. Jadi jika orang-orang sehat bisa mengonsumsi berbagai obat peningkat daya tahan tubuh, tidak demikian dengan Odamun.
Lebih lanjut, penggunaan obat imunosupresan berfungsi untuk menekan dan mengurangi kekuatan sistem imun. Hal ini membuat mereka yang mengkonsumsinya jadi semakin rentan terpapar virus COVID-19 karena antibodinya dibuat melemah.
Kekhawatiran Odamun menghadapi pandemi COVID-19

Ketika mengetahui hal tersebut apa yang dirasakan oleh penyandang autoimun? Bagi saya sendiri sebagai pengidap dua jenis autoimun, yaitu Myasthenia Gravis dan Graves' Disease, pandemi jelas membuat saya ketar-ketir.
Selama hampir setahun terakhir ketika autoimunnya kambuh, saya harus siap tidak bisa berjalan, berdiri, atau pun mengangkat tangan karena antibodi saya menyerang sistem otot dan menjadikannya lemah.
Pernah suatu waktu ketika meminum jahe yang katanya baik buat menjauhkan virus COVID-19 ternyata justru malah memperparah gejala Myasthenia Gravis saya. Apalagi saya tetap harus bolak-balik ke rumah sakit karena harus menjalani operasi.
Takut dan khawatir? Jelas. Orang-orang lain sebisa mungkin menghindari rumah sakit, ini saya malah harus melangkahkan kaki ke sana. Kadang jadi takut dan panik sendiri kalau harus pergi.
Memakai masker dan langsung mandi sesampainya di rumah jadi salah satu rutinitas harian. Sampai-sampai merasa lelah karena harus takut terus-menerus. Kadang sampai salut sama diri sendiri kalau saya masih bisa 'waras' di masa pandemi ini.
Ternyata saya tidak sendiri. Teman-teman pejuang autoimun lain juga mengalami hal serupa. Esti Purbiningrum, Arienta Widiyanisari, dan Maria Ajeng Rosari ialah segelintir orang pengidap autoimun.
Mereka sadar betul autoimmune warrior merupakan salah satu golongan yang rentan terpapar virus. Apalagi ketiganya mengonsumsi obat imunosupresan untuk membantu melawan penyakitnya.
Ajeng yang menderita sakit Psoriasis selama tujuh tahun mengalami ketakutan dan kekhawatiran di awal masa pandemi karena sedang menjalani terapi imunosupresan.
Selain itu, ia tetap harus pergi ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan karena masalah kulit akibat Psoriasisnya. Perasaan takutnya memuncak ketika mengetahui ada tetangganya yang terpapar COVID-19.
Informasi tersebut meningkatkan kekhawatiran dan rasa stresnya sampai-sampai membuatnya tidak bisa tidur dan sakit kepala.
Lain lagi dengan Esti, seorang ibu tiga anak berumur 48 tahun. Sedari SMP dia sudah menderita penyakit Psoriasis dan selama 10 tahun terakhir dirinya harus berjuang menghadapi Psotriatric Arthritis.
Penyakit ini menyerang sendi dan kulitnya. Setiap harinya bangun dari tempat tidur saja sudah merupakan sebuah perjuangan baginya.
Jadi di awal masa pandemi ia memang merasa sedikit stres karena mendengar omongan menyeramkan dari orang lain dan banyak membaca maupun menonton berita. Belum lagi masih harus bekerja menghasilkan uang agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Arienta, seorang karyawan umur 24 tahun ialah pengidap autoimun Rheumathoid Arthritis. Selama lima tahun terakhir, autoimunnya itu selalu membuatnya merasa kesakitan pada bagian sendi-sendinya. Maka dia tidak bisa lepas dari obat imunosupresan untuk membantunya menjalani hari.
Panik dan bingung ketika harus ke luar rumah terutama untuk pergi bekerja menjadi perasaannya di awal pandemi merebak.
"Awalnya takut dan khawatir, lalu inget lagi bahwa '=autoimmune survivor'= sebisa mungkin tidak boleh stres, jadi ya sudah dibawa happy saja sambil benar-benar memperhatikan kebersihan dan kesehatan sendiri," jelasnya.
Baca juga:
Tetap waras menghadapi ketakutan dan kekhawatiran di masa pandemi

Ketiga Odamun di atas tahu betul bahwa stres jadi salah satu pemicu yang membuat gejala autoimun bertambah parah. Jadi alih-alih terfokus pada ketakutan dan kekhawatirannya, ketiga perempuan ini memilih untuk melawannya.
Selain menjaga kesehatan fisik dengan mematuhi protokol yang berlaku, mereka juga belajar menerima keadaan dengan mencari kegiatan positif.
Esti misalnya, memutuskan untuk belajar hal baru seperti menulis, mengikuti kelas daring, serta bertukar pikiran bersama teman-teman autoimun lainnya dalam mengatasi pandemi. Esti juga menyebutkan bahwa pada dasarnya ketakutan ini bisa dilawan.
"Ada banyak saran atau cara mengantisipasi menjaga diri lewat informasi di grup-grup autoimun. Sikap kita harus aktif bukan larut dalam ketakutan," katanya.
Begitu pula dengan yang dilakukan Arienta. Caranya untuk mengatasi ketakutan selama pandemi ini ialah dengan melakukan sesuatu yang membuatnya bahagia.
"Eskperimen masak bikin resep baru, mengisi waktu kosong bareng pasangan untuk meningkatkan hormon endorfin, olahraga simpel di rumah, dan mengisi kesibukan dengan nonton film drama Korea," ungkapnya.
Bagi Ajeng penting banget untuk menjauhkan diri dari stresor. Makanya dia memilih untuk melakukan hal yang disukai. Mulai dari memasak sampai kegiatan seni merangkai manik-manik untuk dijadikan aksesoris. Buatnya ini suatu hal menyenangkan yang jadi distraksi dari rasa stres.
Membahagiakan diri dan mencari kegiatan positif ternyata jadi cara mereka untuk melawan penyakit autoimunnya sekaligus ketakutan dan kekhawatiran di masa pandemi ini.
Solusi psikologis

Rasa takut, khawatir, dan panik memang perasaan yang wajar terjadi di masa pandemi ini. Bukan hanya bagi penyandang autoimun saja, melainkan juga bagi orang-orang sehat sekalipun.
Akan tetapi perlu diingat bahwa ketakutan, kekhawatiran, maupun kepanikan yang berlebihan justru jadi pedang bermata dua yang akan memicu rasa stres negatif. Dampaknya bisa membuatmu jadi tidak waras sendiri.
Lebih lanjut, perasaan stres ini juga akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik lho. Laman Healthline menyebutkan bahwa stres bisa menyebabkan sakit kepala, insomnia, serangan jantung, tekanan darah dan gula darah tinggi, sampai menyerang otot.
Ketika mengalami stres, jantung akan memompa darah lebih cepat dan membuatnya bekerja lebih keras. Terkadang hal ini bahkan bisa sampai membuat seseorang kesulitan bernapas. Jadi malah seperti gejala ketika terpapar virus COVID-19, bukan?
Padahal sebenarnya gejala-gejala tersebut terjadi hanya karena pikiran saja. Oleh karena itu, kamu yang mengidap penyakit bawaan maupun yang sehat wajib banget menghindari rasa stres dan takut berlebih ini.
Ruth C White Ph.D., penulis The Stress Management Workbook dalam laman Psychology Today membagikan beberapa tips untuk mengatasi stres akibat pandemi. Ini bisa jadi cara bagus untuk membuatmu tetap waras di masa-masa ini.
Pertama dengan latihan bernapas. Jangan remehkan kegiatan ini karena pernapasan yang dilakukan berulang kali bisa membuat diri merasa tenang lho.
Kemudian pergilah ke luar rumah. Ternyata mengurung diri dalam rumah karena merasa takut justru bisa membuat dirimu gila. Coba hirup udara segar di depan rumah atau berkeliling di area perumahan tapi pastikan tetap mematuhi aturan yang berlaku ya.
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan diet media. "Mendengarkan berita setiap hari akan memperburuk perasaan cemas, stres, atau sedih," terang White.
Jadi batasi waktu ketika mengakses berita-berita terkait pandemi ya. Lebih baik habiskan waktu untuk hal-hal yang membuatmu bahagia saja. Seperti yang dilakukan oleh teman-teman Odamun tadi. Entah menonton Netflix, belajar hal baru, dan mengerjakan hobi.
Terakhir belajar bersyukur. Odamun saja yang rentan terhadap virus bisa menerima keadaannya dan berusaha mengatasi kecemasannya, apalagi kamu yang sehat.
White menyebutkan bahwa kita memang lebih mudah fokus pada hal-hal negatif saja. Namun dia menyarankan untuk memulai dan mengakhiri hari dengan menyebutkan minimal tiga hal yang kamu syukuri. Studi menyebutkan kebiasaan ini akan mengurangi stres dan meningkatkan perasaan optimis untuk jalani hidup.
Jadi yuk ubah ketakutan berlebih ini supaya diri tetap waras selama pandemi. (sam)
Baca juga:
Tiga Praktik Psikologi Positif Ampuh untuk Lewati Masa Sulit Pandemi