Kelas Menengah Kian Tertekan, Daya Beli Melemah
Selasa, 03 September 2024 -
MerahPutih.com - Kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah, seperti kenaikan harga BBM dan PPN bakal turut mempercepat inflasi. Hal ini semakin memberatkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang kian tertekan.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, deflasi empat kali berturut-turut sepanjang 2024 masih menjadi pertanda adanya fenomena pelemahan daya beli masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat deflasi secara bulanan (month-to-month/mtm) Agustus 2024 sebesar 0,03 persen. Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 2,12 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,06.
Walaupun deflasinya membaik dari 0,08 persen (Juli 2024) menjadi 0,03 persen (Agustus 2024) secara month to month, tetapi terlihat adanya pelemahan daya beli terutama untuk makanan, minuman dan tembakau.
Baca juga:
Cara Pemerintah Selamatkan Daya Beli Kelas Mengengah
"Makanya kalau dilihat ini memang industri makanan, minuman dan tembakau bisa jadi mereka terkena impact dari pelemahan daya beli,” kata Nailul di Jakarta, Selasa (3/9).
Ia menjelaskan, sektor-sektor tersebut terdampak pelemahan daya beli yang terlihat dari turunnya permintaan terhadap produk kebutuhan pokok.
Deflasi sepanjang tahun 2024 berkaitan dengan sisi permintaan yang melemah, sementara dari sisi suplai pun juga terlihat terbatas. Hal ini tercermin dari penggunaan kapasitas di industri saat ini yang hanya mencapai 73,7 persen.
Padahal, pelemahan daya beli memiliki efek domino yang berdampak pada kondisi Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur dan kapasitas produksi.
Angka PMI manufaktur pada Agustus 2024 juga mengalami kontraksi menjadi 48,9 poin atau turun 0,4 poin secara bulanan. Di mana, situasi saat ini dengan krisis ekonomi global pada 2008-2009 serta dampak pandemi COVID-19 pada 2020-2021, di mana deflasi juga terjadi akibat faktor eksternal.
Ia menekankan, deflasi tahun ini memiliki karakteristik berbeda. Menurutnya, saat pandemi ada kondisi luar biasa yang membatasi mobilitas orang, termasuk ke pabrik.
"Sedangkan sekarang, deflasi lebih dipengaruhi oleh kebijakan yang menekan daya beli masyarakat, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan naik menjadi 12 persen," katanya. (*)