Keberatan Platform Digital User Generated Content Diatur UU Penyiaran

Rabu, 16 Juli 2025 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI.

TikTok Indonesia meminta platform digital berbasis konten buatan pengguna atau user generated content (UGC) tidak diatur dalam regulasi yang sama dengan penyiaran konvensional dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

"Tidak dalam regulasi yang sama dengan penyiaran konvensional," kata Head of Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto.

Platform UGC sebaiknya tidak diatur dalam regulasi yang sama dengan lembaga penyiaran konvensional guna menghindari ketidakpastian hukum.

Baca juga:

DPR Bakal Panggil YouTube, Netflix, dan TikTok Buat Bahas RUU Penyiaran

"Kami merekomendasikan agar platform UGC tetap diatur dalam kerangka moderasi yang telah ada di bawah pengawasan Kementerian Komunikasi dan Digital," ucapnya.

Dia menekankan pihaknya tidak merekomendasikan pendekatan regulasi yang menyasar satu untuk semua, baik itu penyiaran konvensional, layanan over the top (OTT), dan platform UGC dalam satu produk undang-undang sebab masing-masing memiliki model bisnis dan kerangka tata kelola konten yang berbeda secara fundamental.

Platform UGC memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan lembaga penyiaran tradisional. Dari sisi pembuatan dan pengendalian terhadap isi konten, konten platform UGC seperti TikTok dibuat dan diunggah oleh pengguna individu maupun bisnis.

"Sebaliknya, lembaga penyiaran tradisional maupun juga platform seperti OTT menyediakan konten yang diproduksi atau diunggah langsung oleh platform," katanya.

Adapun dari sisi model bisnis dan partisipasi pengguna, platform UGC didorong oleh partisipasi aktif dari pengguna dan akses terbuka untuk publik, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan kreator.

Sedangkan, lembaga penyiaran tradisional berfokus pada konsumsi pasif dengan akses terbatas pada produser konten profesional dan pemegang lisensi.

Kemudian dari sisi volume konten dan pengawasan, berapapun konten bisa diunggah oleh pengguna setiap waktu pada platform UGC.

Namun, konten yang melanggar secara proaktif akan dideteksi dan dihapus melalui proses moderasi yang ketat dengan kombinasi teknologi dan manusia.

"Sedangkan di lembaga penyiaran tradisional memiliki jumlah konten yang terbatas, terjadwal, dan kurasi sehingga moderasi konten dapat dilakukan secara kuratif karena semua materi dapat ditinjau, diedit, dan disetujui terlebih dahulu sebelum disiarkan ke publik," ujarnya.

Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini menekankan kehadiran RUU Penyiaran menjadi kebutuhan mendesak di tengah proses legislasi yang memakan waktu cukup panjang.

Ia menyebut untuk sementara pengaturan penyiaran platform digital dapat dijadikan satu terlebih dahulu dengan penyiaran konvensional ke dalam RUU Penyiaran sebab menyasar substansi yang sama.

"Kenapa kita come up dengan ini harus dilakukan bersama Undang-Undang Penyiaran dengan konten ini karena tadi nanti kita atur kan bisa diatur di PP (peraturan pemerintah), bisa diatur di Permen (peraturan menteri), atau bisa diatur nanti secara rigid mekanismenya," kata Amelia.

Dia lantas melanjutkan, karena kembali lagi ke definisinya (penyiaran) tadi, segala sesuatu yang di-publish, segala sesuatu yang disiar itu kan masuk ke dalam terminologi itu definisi penyiaran.

"Ini saja beda, satu dari internet, satu dari transmisi. Caranya aja yang berbeda tapi definisi siarnya itu sama."

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan