Harga Tidak Menentukan Kualitas Obat

Sabtu, 07 Oktober 2023 - Ikhsan Aryo Digdo

HARGA tidak memengaruhi kualitas obat yang beredar di pasaran. Obat dengan harga murah, bukan berarti tidak memiliki khasiat optimal untuk menyembuhkan penyakit.

Sebuah studi terbaru dari Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds) menemukan bahwa produk obat yang harganya 10 kali lipat lebih mahal nyatanya memiliki kualitas sama dengan produk sejenis berharga lebih rendah. Hal tersebut dibuktikan melalui 1.274 sampel obat yang diteliti bersama Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam.

Baca Juga:

Obat Tetes Mata Sebabkan Kebutaan Hingga Kematian di AS

Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes, Co-Principal Investigator of STARmeds mengatakan latar belakang penelitian ini datang dari pertanyaan publik yang ingin mengetahui apakah obat murah, bahkan gratis memang berkualitas. "Kami tertarik untuk untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya," ujar Yusi saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani. (Foto: Starmeds)

Studi ini menggunakan sampel dari lima jenis obat, termasuk antibiotik (amoksisilin & cefixime), obat asam urat (allopurinol), obat untuk tekanan darah tinggi (amlodipine), dan steroid (dexamethasone). Sampel tersebut berasal dari rumah sakit, apotek, dan platform e-commerce di wilayah Jabodetabek, serta di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur, termasuk Medan/Labuhan Batu; Surabaya/Kabupaten Malang; dan Kupang/Timor Tengah Selatan.

Hasilnya, hampir sepertiga obat sampel yang dibeli harganya lebih dari 10 kali harga produk setara termurah, dan 10 persen sampel obat dengan harga tertinggi dihargai lebih dari 30 kali lipat harga terendah. Padahal, kualitas obat-obat ini sama.

Baca Juga:

BPOM Rilis 1.108 Produk Obat Sirop Aman Konsumsi

Selain itu, pengujian kualitas pada antibiotik memiliki tingkat kegagalan tinggi dibandingkan obat-obatan lain. Prevalensi gagal pengujian dalam laboratorium yang telah disesuaikan dengan volume pasar untuk antibiotik adalah 6,8 persen atau dua kali lipat lebih dari 3,1 persen yang diperkirakan untuk non-antibiotik.

Sebagian besar obat palsu dibeli dari penjual tidak resmi di online marketplace. (Foto: Unsplash/Wengang Zhai)

“Ini mengkhawatirkan, jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien, mereka mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten.”

Tak hanya itu, penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar obat palsu yang terkonfirmasi (15 dari 21 obat) dibeli dari penjual tidak resmi di online marketplace.

Penelitian STARmeds ini mendukung kegiatan rutin sampling obat yang dilakukan oleh BPOM sebagai bagian pengawasan obat di pasar. STARmeds juga merekomendasikan adanya sistem data informasi obat yang saling terkoneksi antara lembaga pemerintah terkait. (ikh)

Baca Juga:

Jeruk Nipis dan Kecap, Benarkah dapat jadi Obat Radang?

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan