Bersiap, Beli Sembako Bakal Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Kamis, 10 Juni 2021 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Pemerintah berencaa mengerek pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dari sebelumnya 10 persen. Salah satunya skema PPN terhadap sembilan bahan pokok. Hal tersebut tertuang dalam rencana revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sebelumnya, sembako adalah obyek yang tidak dikenakan pajak, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Keuangan 116/PMK.010/2017, yang berbunyi bahwa barang kebutuhan pokok itu adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Anggota DPR Mufti Anam, mengkritisi rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang sembilan bahan pokok alias sembako karena akan memukul balik momentum pemulihan ekonomi yang kini perlahan mulai tertata.

Baca Juga:

Barang Konsumsi Masyarakat Atas Diusulkan Dikenakan Pajak Lebih Tinggi

"Ini kan ekonomi sedang punya momentum pemulihan, punya momentum untuk rebound. Tantangan-nya ada pada upaya menahan laju kenaikan kasus aktif COVID-19. Daya beli perlahan tumbuh. Kalau kebutuhan pokok dikenakan PPN, berarti pemulihan ekonomi dipukul mundur," kata Mufti, Rabu (10/6).

Ia menegaskan, saat ini daya beli belum pulih, akan menjadi tambahan beban tambahan jika ada pengenaan pajak. Padahal, belanja masyarakat adalah kunci pemulihan dan jantung pertumbuhan ekonomi.

"Jelas bahwa PPN akan membuat harga barang naik, inflasi terjadi. Kalau inflasi meningkat, otomatis daya beli warga makin tertekan. Kalau daya beli warga minim, ekonomi tidak akan bergerak," kata ujar Mufti yang juga anggota Badan Anggaran DPR RI.

Selain daya beli, dampak pajak Sembako, membuat upaya pengentasan kemiskinan semakin sulit dilakukan. Mengingatkan bahwa konsumsi terbesar masyarakat miskin tersedot untuk kebutuhan pangan.

"Kan di data BPS itu, bahan makanan memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan, sekitar 73,8 persen dari total garis kemiskinan, per September 2020. Kontribusi bahan makanan terhadap garis kemiskinan terus naik lho, jika dibandingkan September 2019 ke September 2020 itu ada kenaikan 4 persen,” ujarnya.

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KPRP) Said Abdullah mengingatkan, rencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako seharusnya menjadi pilihan terakhir karena sangat membebani rakyat kalangan bawah.

"Mestinya PPN sembako jadi pilihan terakhir dari banyak opsi. Misalnya mengutamakan penerimaan PPN dari sektor lain yang selama ini belum masuk," katanya.

Rencana mengenakan skema PPN sebagai sebuah niat untuk memperkuat penerimaan negara dari pajak adalah hal yang baik-baik saja. Namun, yang perlu menjadi pengingat jangan sampai membuat situasi masyarakat makin susah terutama kelompok masyarakat kelas bawah.

Ia mengingatkan, sembako yang dikonsumsi masyarakat sebagian bahan bakunya dihasilkan dari petani dalam negeri, sehingga pengenaan PPN bisa berdampak ke mereka.

"Bisa jadi (dengan pengenaan skema PPN sembako) di tingkat petani sebagai produsen bahan baku kena, di konsumen juga kena, dan tentu saja kita perlu ingat juga, petani dan kelompok produsen pangan skala kecil di pedesaan juga adalah net consumer," paparnya.

Apalagi, ujar Said, petani saat ini kerap menerima harga rendah dan pendapatan yang cenderung fluktuatif bahkan turun pada saat pandemi ini. Hal tersebut, lanjutnya, seharusnya merupakan situasi yang seharusnya tidak terjadi terutama di tengah kelesuan aktivitas perekonomian seperti sekarang ini.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut wacana penerapan skema multitarif PPN memungkinkan pengenaan pajak terhadap barang-barang esensial menjadi lebih murah.

Beras Bulog. (Foto: Antara)
Beras Bulog. (Foto: Antara)

“Kita ingin memberikan fasilitas yang tepat sasaran, kita ingin justru memberikan dukungan bagi akses publik terhadap barang barang yang dibutuhkan. Yang selama ini mungkin dikenai pajak 10 persen, nanti bisa dikenai 7 persen atau 5 persen,” kata Yustinus dalam diskusi Info Bank secara daring, Kamis (3/6).

Yustinus menyampaikan, tidak tepat menyimpulkan bahwa pemerintah akan menaikkan atau menurunkan tarif PPN, tetapi tujuan utamanya adalah mengurangi penyimpangan atau distorsi. Melalui skema multitarif, barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat atau hanya dikonsumsi masyarakat kelompok atas akan dikenakan pajak yang lebih tinggi.

“Itu sekarang sedang dirancang, jadi lebih kepada sistem PPN kita lebih efektif dan juga kompetitif menciptakan keadilan dan juga berdampak baik kepada perekonomian,” jelas Yustinus.

Ia menegaskan, momentum pandemi COVID-19 yang tidak memungkinkan untuk mendorong maupun mengejar penerimaan pajak secara agresif, menjadi saat yang tepat bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan mengenai tarif PPN.

"Pemerintah pun, tak akan terburu-buru menerapkan kebijakan tersebut," ujarnya dikutip Antara. (*)

Baca Juga:

PKS Tegaskan Reformasi Perpajakan Harus Menjunjung Prinsip Keadilan

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan