Bedanya Flexing Pria dan Perempuan
Rabu, 12 April 2023 -
PRIA dan perempuan sama-sama suka flexing. Hanya saja cara mereka melakukannya berbeda. Pria lebih suka flexing dengan menunjukkan sisi maskulinitasnya sementara perempuan dari sisi feminimnya.
Psikolog Fiona Damanik, M.Psi., mengatakan salah satu tujuan flexing pria dan perempuan juga sama, yakni seperti mendapatkan validasi dari lingkungan sekitar. "Dia (pria dan perempuan) berusaha mengompensasi dengan cara flexing," ujar Fiona kepada merahputih.com.
Baca Juga:
Sering Ganti Gaya Outfit untuk Flexing dan Personal Branding
Pria menurut Fiona, suka flexing dengan koleksi barang favorit yang tak akan mereka jual seperti mobil, jam, hingga parfum kesayangan. Perempuan juga begitu, barang-barang fashion branded semisal tas, sepatu, dan aksesori lainnya menjadi sarana mereka untuk flexing.

Tujuan flexing sebenarnya juga tak hanya untuk memamerkan barang kepunyaan. Beberapa individu pria dan perempuan boleh jadi flexing karena untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat. Flexing bisa memberikan cuan hingga membangun kepercayaan terhadap orang-orang yang melihatnya.
"Bisa juga ternyata (flexing) buat konten, atau uang, tapi bisa juga endorse. Endorse mobil mewah itu sangat memungkinkan ya malah berujung jadi cuan. jadi, ada berbagai reasons individu yang melakukan flexing," kata Fiona menggambarkan fenomena flexing yang kerap terjadi di kalangan selebritas dan influencer.
Baca Juga:
Pria dan perempuan flexing sebenarnya merupakan hal wajar. Asalkan tidak mengganggu kegiatan sehari-hari, flexing boleh saja dilakukan, karena beberapa individu pun melakukan kegiatan ini sebagai bentuk apresiasi diri. Mereka merasa memiliki barang atau pencapaian tertentu menjadi prestasi terbaiknya yang berhasil diraih.

Meski begitu, salah satu alasan terbesar orang sering flexing ialah agar mendapatkan validasi dari lingkungan sekitar. Padahal, kenyataannya tak semua orang mempedulikan seseorang yang flexing. Terkadang, pada akhirnya seseorang yang flexing merasa mendapatkan 'validasi' sendiri dalam pikiran mereka karena merasa orang-orang sudah menerimanya.
Hal ini bisa menjadi masalah psikologis. Terlebih apabila seseorang baru merasa mendapatkan validasi berdasarkan ekpektasi mereka sendiri seperti berhasil meraih banyak likes di media sosial. Sebab, ada beberapa kasus orang merasa sedih dan kesal karena respons orang sekitar terhadap perilaku flexing-nya tidak sesuai harapan.
"Contohnya 'aku hanya akan menerima diriku kalau likes di fotoku 10k'. Nah itu kan secara nalar tidak terkait dengan penerimaan lingkungan, tapi dia merasa idelanya begitu. Jadi ada kesalahan bernalar," tutup Fiona. (dkr)
Baca Juga: