Amnesty International Sebut Serangan Kebebasan Berekspresi Tembus Level Mengkhawatirkan
Selasa, 29 April 2025 -
MERAHPUTIH.COM - AMNESTY International merilis laporan tahunan berjudul Situasi HAM di Dunia 2024/2025. Laporan itu mencatat menguatnya praktik-praktik otoriter yang diadopsi oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam laporan tersebut, praktik-praktik otoriter kian menyerang jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam hukum nasional maupun hukum internasional.
?
Manajer Media Amnesty International Indonesia Haeril Halim mengatakan serangan pada kebebasan berekspresi mencapai level mengkhawatirkan. "Praktik negara masih cenderung terus memenjarakan orang-orang kritis dengan tuduhan menghina, mencemarkan nama baik lembaga, individu maupun pejabat negara atau keluarga mereka di media sosial maupun elektronik," kata Haeril dalam keterangannya, Selasa(29/4).
?
Haeril menjabarkan, dari Januari hingga Desember 2024, Amnesty mencatat 13 pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 15 korban yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Walau sudah direvisi dua kali, UU ITE masih sering digunakan untuk merepresi warga yang menggunakan hak mereka untuk berpendapat. Hingga memasuki 2025, kriminalisasi terus terjadi walaupun telah ada aturan hukum yang melindungi warga yang ingin berpartisipasi (Anti-SLAPP)," jelas Haeril.
?
Salah satu contohnya, yakni pada peristiwa 10 Maret 2025, polisi menangkap seorang aparatur sipil negara dan seorang mahasiswa di Bangka Belitung. Kepolisian menetapkan mereka sebagai tersangka pencemaran nama baik karena memuat konten negatif atas seorang pejabat rumah sakit umum daerah Pangkalpinang di media sosial.
Baca juga:
Amnesty International Desak Otoritas Negara Lakukan Investigasi Resmi Terkait Teror terhadap Tempo
?
Ada pula Septia Dwi Pertiwi yang didakwa pencemaran nama baik hanya karena mengkritik pemimpin perusahaan tempat dia bekerja. Dalam putusan 22 Januari 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Septia tidak bersalah. "Namun, pada 17 Februari 2025, jaksa penuntut umum yang mendakwanya dengan UU ITE mengajukan kasasi atas putusan bebas Septia ke Mahkamah Agung," jelas Haeril.
?
Upaya kasasi ini dinilai sebagai cara mengebiri kebebasan berekspresi, mengingat jaksa merupakan representasi alat negara dalam penegakan hukum. “Jaksa ialah pengacara negara. Negara seakan ingin mengubah ruang ekspresi menjadi ruang jeruji melalui kriminalisasi ekspresi-ekspresi damai di ruang publik maupun digital,” kata Haeril.
?
“Pelaporan pidana, apalagi penghukuman pidana, merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik. Kriminalisasi tidak hanya menghukum si korban, tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka,” tambah Haeril.
?
Parahnya, para pelaku justru sengaja ditahan untuk mengintimidasi pihak keluarga selama proses hukum berjalan. “Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil,” kata Haeril.(Pon)
Baca juga: