Ahli Roaster Jawab Stigma Roasting yang Beredar di Indonesia

Kamis, 20 Januari 2022 - Ikhsan Aryo Digdo

DALAM industri kopi, proses pemanggangan (roasting) adalah kunci. Tanpa melewati proses roasting yang tepat, green bean akan memiliki kadar kafein yang sangat tinggi dengan tingkat rasa sangat pahit. Selain mengurangi tingkat kepahitan kopi, proses pemanggangan ini juga berfungsi untuk menghilangkan kondisi buruk pada kopi.

Dengan pentingnya pemrosesan ini, menjadi roaster tidak bisa sembarangan. Meski demikian, masih ada orang yang memiliki stigma tertentu terhadap roasting dan roaster. Head of Indonesia Coffee Roasting Championship (ICRC), Andrew Tandra menjelaskan fakta sebenarnya di balik stigma yang selama ini beredar di masyarakat.

Baca Juga:

Beberapa Hal yang Harus Dimiliki Roaster Andal

1. "Cewek enggak berbakat untuk roasting coffee"

Jangan salahkan perempuan, pria juga bisa moody saat me-roasting. (Foto: Unsplash/Brooke Cagle)

Walaupun industri ini sebenarnya genderless, masih ada saja yang beranggapan bahwa tangan perempuan tidak cocok untuk meracik kopi yang lezat apalagi melakukan roasting. Perempuan dianggap kurang kompeten. Apalagi jika moody saat datang bulan. Andrew pun mematahkan stigma itu.

"Sebenarnya stigma semacam itu banyak bermunculan di dunia culinary ya. Perempuan enggak bisa jadi roaster atau chef? I don't believe that. Banyak kok yang jago. Semua sama. Cowo kalau mood-moodan juga enggak enak kopinya," ujarnya.

Faktanya, bukan gender yang menentukan lezat atau tidaknya kopi yang dihasilkan. Kunci menjadi roaster versi Andrew adalah harus tenang. "Seandainya seorang roaster dikasih waktu sangat singkat, one origin waktunya 30 menit dan blend 60 menit dia harus tetap tenang dan itu tidak ada kaitannya dengan gender," urai Andrew.

2. "Kelihatan keren dan macho"

Tidak macho lagi kalau sudah basah kuyup. (Foto: merahputih.com/Dicke Presetia)

Profesi yang berkaitan dengan industri kopi kerap kali melekat dengan suatu hal yang keren, macho dan classy. Namun ternyata semua keindahan itu hanya fatamorgana. Itulah yang diungkapkan oleh Andrew yang telah malang melintang di industri kopi sebagai roaster. " Kelihatannya keren, cool tapi kalau sudah nge-handle 20 batch perhari udah enggak keren lagi. Depan mesin roasting seharian itu panas. Baju pun basah kuyup karena panas," ungkapnya.

Baca Juga:

Karakter Roaster yang Dicari di Indonesia Coffee Roasting Championship 2022

3. "Pekerjaan ini santai abis"

Roasting jauh dari kata santai. (Foto: merahputih.com/Dicke Prasetia)

Bekerja di industri kopi notabene-nya memang tidak ada office hour. Namun itu bukan jaminan bahwa para roaster bekerja dengan sangat santai. "Kita harus seperti robot. Very consistent. Benar-benar harus tahu ritualnya dari masukin beans keluarin beans. Kalau melakukan dengan konsisten, hasilnya pun konsisten," terangnya.

Tidak hanya harus bekerja dengan cepat dan tepat, seorang roaster juga harus teliti, fokus dan berwawasan luas. "Misalnya, kita roasting Kopi Jawa dan Sumatera. Itu adalah dua hal yang berbeda dan harus diproses dengan berbeda. Dia harus tahu kenapa kita harus roasting dengan berbeda. Karakter rasa dari tiap daerah dia harus tahu supaya bisa menemukan profile yang tepat," ujarnya.

4. "Roaster yang jago bisa buat kopi enak"

Butuh jam terbang tinggi dalam pengolahan beans. (Foto: merahputih.com/Dicke Prasetia)


Seorang roaster bukan hanya harus bisa buat kopi enak. Mereka juga harus bisa mempertimbangkan efisiensi baik dari segi waktu maupun beans. Itu bukan hal yang bisa dipelajari dalam waktu singkat. Butuh jam terbang tinggi dan pendekatan terbaik dalam pengolahan beans. "Mereka harus bisa roasting dalam waktu singkat dan enggak buang-buang beans. Roaster dikatakan jago kalo dia bisa efisien," tukasnya. (avia)

Baca Juga:

Pertama Di Asia, Cup of Excellence Siap Digelar di Indonesia Tahun ini

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan