75 Tahun TNI, Begini Catatan Kontras

Senin, 05 Oktober 2020 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Memasuki usia ke 75 tahun, Tentara Nasional Indonsia (TNI) dinilai masih memiliki sejumlah kekurangan. Diantaranta soal kasus-kasus pelanggaran yang diduga melibatkan oknum anggota.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat kasus dugaan pelanggaran masih menghantui institusi TNI. Lembaga ini, menyoroti soal adanya arogansi anggota baik kepada masyarakat maupun institusi lainnya.

"Idealnya, kuasa yang besar dibarengi dengan mekanisme akuntabilitas dan pengawasan yang baik, namun hal tersebut belum kami temukan ada dalam tubuh TNI, " tutur Rivanlee kepada wartawan yang dikutip di Jakarta, Senin (5/10).

Baca Juga:

LBH Jakarta: Omnibus Law Bentuk Kejahatan Konstitusi

Besarnya angka dugaan kekerasan oleh oknum tidak dibarengi dengan proses reformasi peradilan militer menuju mekanisme pertanggungjawaban tentara yang melanggar HAM pada pengadilan umum.

Data Kontras, mayoritas tentara yang melakukan tindak pidana non pidana militer masih diadili di Pengadilan Militer, seperti 27 kasus kekerasan dan kekerasan seksual yang mendapat putusan di tingkat pengadilan militer dalam satu tahun kebelakang.

"Meskipun UU TNI sudah menyatakan bahwa pelanggaran pidana oleh tentara seharusnya diadili di pengadilan umum, " ujarnya.

Ia mengingatkan potensi terjadinya konflik antara TNI dan instansi lainnya dapat memberikan dampak buruk pada situasi keamanan dan pertahanan negara.

"Yang semestinya kedua institusi tersebut menjadi garda terdepan keamanan dan pertahanan malah bentrok," ucap Rivan.

Ia mengatakan, ke depannya hal itu semestinya tak dilakukan kedua institusi tersebut supaya bentrokan tak lagi terjadi.

Ziarah TNI
Ziarah TNI. (Foto: Antara).

"Jadi contoh ke depannya bagi publik bahwa perdamaian antara kedua institusi ini adalah hal yang mustahil untuk diwujudkan kalau keduanya terus berupaya masuk ke ranah sipil atau berebut ke ranah sipil," kata Rivan.

"Contohnya, ketika polisi punya Pam Swakarasa, TNI mulai masuk ke komando cadangan," ucap dia.

Rivanlee menilai demi menjamin supremasi sipil, mengingatkan pelibatan TNI pada ranah di luar pertahanan negara harus dilakukan secara terbatas dan hanya melalui kerangka OMSP sebagaimana diatur dalam UU TNI.

KontraS juga meminta Presiden Jokowi harus menunda perekrutan anggota komponen cadangan oleh Kementerian Pertahanan. Selain belum memiliki urgensi, Jokowi hendaknya mengutamakan pembenahan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara, sebelum memulai perekrutan komponen cadangan.

Kemudian, KontraS mendesak Jokowi, melalui kementerian terkait dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar merumuskan rancangan Peraturan Presiden Tugas TNI terkait terorisme secara cermat dengan mengatur mengenai batasan-batasan TNI.

"Kontra melihat fungsi yang relevan adalah penindakan saja. Kan fungsi penangkalan dan pemulihan sudah ada lembaga. Misalnya penangkalan dimiliki BIN dan pemulihan ada BNPT, Kementerian Sosial atau Kementerian Agama," kata Rivanlee.

Karenanya, Kontras meminta Panglima TNI melakukan evaluasi terhadap sistem pengawasan internal di tubuh TNI, serta memastikan adanya proses hukum yang akuntabel terhadap seluruh anggota TNI yang melakukan pelanggaran HAM.

Termasuk kepada atasan baik yang memberikan instruksi ataupun melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahannya.

Panglima TNI mestibmenjamin profesionalitas TNI dengan secara konsisten fokus di sektor pertahanan negara tanpa turut mengurus urusan-urusan sipil yang berada di luar tugas, fungsi, dan kompetensi TNI seperti penanganan pandemi.

"Demi menjamin supremasi sipil, pelibatan TNI pada ranah di luar pertahanan negara harus dilakukan secara terbatas dan hanya melalui kerangka OMSP sebagaimana diatur dalam UU TNI, " ujarnya. (Knu).

Baca Juga:

Digelar Secara Virtual, Perayaan HUT TNI Ke-75 Jadi Momentum Tingkatkan Profesionalisme

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan