Perubahan Sistem Bakal Robohkan Tahapan Pemilu 2024
Ilustrasi pemilu. (Foto: Antara)
MerahPutih.com - Mahkamah Konstituisi telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Baca Juga:
MK Putuskan Gugatan Sistem Pemilu pada 15 Juni
Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Fathul Wahid mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) mempertahankan sistem pemilu terbuka serta menolak Perkara Nomor 114/PUU/XX/2022 yang memohon sistem pemilu menjadi tertutup.
"Sebagai pengawal demokrasi (the guardians of democracy), MK sudah selayaknya dan seharusnya menolak permohonan pengubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup," kata Fathul.
Menurut Fathul, sikap itu selaras dan konsisten dengan Putusan MK Nomor 22/PUU/IV/2008 terdahulu yang menegaskan bahwa dasar penetapan calon terpilih berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang ditetapkan hanya di internal partai politik (parpol).
"Sistem pemilu terbuka memastikan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat dan pemeliharaan iklim demokrasi terus lestari dan berjalan dengan baik di Indonesia karena akan menjamin bahwa calon wakil rakyat yang terpilih adalah benar-benar pilihan rakyat dan bukan hanya pilihan parpol," katanya.
Sistem pemilu terbuka, kata dia, akan memperkuat partisipasi dan kontrol publik terhadap wakil rakyat yang akan duduk di parlemen.
Partisipasi dan kontrol publik tersebut, menurut Fathul, berangkat dari hubungan antara wakil rakyat dan konstituennya yang merupakan ciri pelaksanaan sistem demokrasi.
"Demokrasi memberikan saluran kepada warga negara untuk berhubungan langsung dengan sumber kewenangan dan kekuasaan politik," ujarnya.
MK juga harus mengantisipasi dan memperhatikan dampak besar terhadap perubahan sistem pemilu terbuka menjadi tertutup karena seluruh proses yang telah dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak Juni 2022 sampai dengan Juni 2023 diselenggarakan dengan rujukan sistem pemilu terbuka.
"Perubahan atas sistem tersebut dikhawatirkan akan merobohkan seluruh proses yang telah dibangun KPU selama ini," ucap Fathul.
Rektor UII bersama Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII (HTN FH UII), dan Pusat Studi Hukum KonsFtusi FH UII (PSHK FH UII) mendesak MK untuk menolak Perkara Nomor 114/PUU/XX/2022 dan tetap mempertahankan sistem pemilu terbuka.
Fathul mendukung KPU untuk tetap fokus menyelenggarakan tahapan Pemilu 2024 agar tercipta pemilu yang berintegritas. (Pon)
Baca Juga:
PKS Kritik Petinggi BPIP Terkait Dugaan Cawe-cawe Sistem Pemilu Tertutup
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
[HOAKS atau FAKTA]: Puan Maharani Gandeng Anies Baswedan di Pilpres 2029, Pede Bisa Raih 68 Persen Suara
DPR Jelaskan Alasan Uang Pengganti Tak Melanggar UUD 1945, Bisa Jadi Senjata Rahasia Jaksa Sita Aset Koruptor
MK Tolak Perubahan Usai Pemuda Menjadi 40 Tahun di UU Kepemudaan
[HOAKS atau FAKTA]: Ketua Harian PSI Usulkan Duet Gibran-Jokowi di Pilpres 2029
Iwakum Nilai Keterangan DPR dan Dewan Pers di MK Tak Jawab Substansi Perlindungan Wartawan
Imunitas Jaksa Dibatasi oleh Putusan MK, Kejagung Janji Lebih Berintegritas
Putusan MK 'Paksa' Revisi UU ASN, DPR Tegaskan Perlunya Pembentukan Lembaga Independen Baru untuk Awasi Sistem Merit
Istana Pelajari Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Pembentukan Lembaga Pengawas ASN, Diklaim Sejalan Dengan Pemerintah
Komisi Kejaksaan Hormati Putusan MK soal Pembatasan Imunitas Jaksa
MK Batasi Imunitas Kejaksaan: Pemeriksaan Hingga OTT Jaksa Tidak Perlu Izin Jaksa Agung