SOPK, Kelainan Hormon Perlu Diwaspadai Perempuan


SOPK mengintai banyak perempuan. (Foto: Unsplash/Kinga Howard)
SINDROM ovarium polikistik (SOPK) mengintai banyak perempuan. Kondisi kelainan endokrin ini memengaruhi 5–20 persen perempuan usia reproduksi.
SOPK perlu segera ditangani karena dalam jangka panjang akan berkembang ke penyakit DM tipe 2, sindrom metabolik serta peningkatan angka kejadian kanker endometrium (dinding rahim). Sayangnya, diperkirakan sekitar 50 persen perempuan penderita SOPK tidak terdiagnosis.
Baca Juga:
“Terkait SOPK kami pelajari lewat penelitian di Klinik Yasmin RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana dan melibatkan 120 subjek penelitian, yaitu perempuan usia reproduksi (18-35 tahun) yang terdiagnosis SOPK dengan indeks massa tubuh kurang dari 25 kg/m2," ujar dr. Gita Pratama, Sp. OG, Subsp. FER, M.Sc,Rep, Spesialis Obstetri dan Ginekologi Subspesialis Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, dalam rilis pers yang diterima merahputih.com.

Pada Desertasinya berjudul Hubungan Kadar Kisspeptin, Neurokinin B dan Dinorfin terhadap Rasio LH/FSH serta Polimorfisme dan Metilasi DNA Gen KISS1 pada Pasien Sindrom Ovarium Polikistik Nir-obese, Gita mengatakan SOPK ditandai dengan adanya gangguan haid, peningkatan hormon androgen, serta infertilitas. Salah satu penemuan penelitian terdahulu berkaitan dengan obesitas sebagai salah satu faktor risikonya.
“Meskipun obesitas salah satu faktor risiko yang kerap terjadi, namun lewat penelitian ini ditunjukkan bahwa 20–50 persen perempuan dengan SOPK mempunyai berat badan yang sebenarnya normal (nir-obese)."
Baca Juga:
Awas! Kebiasaan Buruk yang Berisiko Hambat Metabolisme Tubuh
Diperkirakan proses perjalanan penyakit perempuan yang obesitas dan berat badan normal (nir-obese) pun berbeda. Hormon yang memengaruhi sistem reproduksi perempuan, yaitu luteinizing hormone (LH) yang berasal dari kelenjar hipofisis di otak, secara signifikan lebih tinggi pada perempuan nir-obese dengan SOPK dibandingkan
dengan obese.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan hormonal pada otak (neuroendokrin) mungkin merupakan mekanisme terpenting pada pasien SOPK dengan berat badan normal,” tutur Gita.

Ia menambahkan tatalaksana pada SOPK adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup (diet dan olah raga). Penelitian menunjukkan pasien SOPK obese mengalami perbaikan gejala dengan melakukan modifikasi gaya hidup tersebut. Karena pasien SOPK dengan berat badan normal lebih terkait dengan gangguan hormonal, maka perbaikan gaya hidup saja belum bisa memberikan perubahan gejala signifikan.
“Temuan inilah yang memicu kami untuk membuat penelitian yang dapat lebih memahami proses terjadinya penyakit (patogenesis) SOPK, khususnya pada pasien nir-obese, sehingga diharapkan dapat mengembangkan tatalaksana yang tepat di kemudian hari,” jelas dr. Gita.
Selain itu, pada penelitian ini juga mengungkapkan terdapat dua mekanisme yang mungkin menyebabkan peningkatan rasio LH/FSH pada pasien SOPK nir-obese. Pertama adalah penurunan dinorfin yang diperkirakan akan memengaruhi peningkatan GnRH secara langsung di otak.
Sedangkan yang kedua adalah peningkatan kadar anti-Mullerian hormone (AMH) yang selain secara langsung menyebabkan terhentinya pertumbuhan telur akibat penurunan enzim aromatase, juga memengaruhi peningkatan GnRH. (ikh)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga

Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak

Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas

Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan

Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
